Istanbul (ANTARA) - Seorang wanita korban sterilisasi paksa di Jepang menerima kompensasi sebesar 15 juta yen (Rp1,57 miliar) setelah mengajukan serangkaian gugatan terkait hal tersebut kepada pengadilan setempat selama lebih dari enam tahun.

Kompensasi tersebut diterima seusai Mahkamah Agung Jepang, pada 3 Juli lalu, memutuskan bahwa sang korban, yang kini berusia 60-an tahun, dan penggugat lainnya berhak menerima kompensasi.

Kebijakan sterilisasi paksa yang dilakukan di bawah UU perlindungan eugenika Jepang, berlaku pada 1948--1996 dan kini sudah dicabut, mengizinkan sterilisasi dilakukan tanpa meminta izin kepada orang-orang dengan disabilitas intelektual, penyakit mental, atau kelainan turunan.

Sterilisasi tersebut dilakukan untuk mencegah lahirnya keturunan yang dianggap "bermutu rendah".

Parlemen Jepang pada 2019 mengesahkan sebuah undang-undang yang menyatakan bahwa setiap orang yang mengalami sterilisasi paksa berhak menerima dana setara dengan 27.885 dolar AS (Rp422,58 juta).

Namun, UU tersebut dikritik karena menetapkan jumlah kompensasi yang sama bagi semua korban sterilisasi paksa, yang jumlahnya dilaporkan mencapai 16.500, baik laki-laki maupun perempuan.

Sebelum pemberian kompensasi bagi korban sterilisasi paksa diperintahkan UU, pemerintah Jepang berulang kali menolak memenuhi permintaan kompensasi dari para korban.

Pemerintah saat itu memandang kompensasi tak diperlukan karena praktik tersebut legal kala itu.

Sumber: Anadolu

Baca juga: Populasi lansia bekerja di Jepang capai rekor tertinggi
Baca juga: Pemimpin daerah Jepang skeptis soal upaya penurunan angka kelahiran

Baca juga: Jepang catat rekor penurunan populasi pada 2023

Penerjemah: Nabil Ihsan
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2024