Senjata api hanya boleh digunakan dalam keadaan darurat yang sangat terukur sebagai tindakan terakhir.
Jakarta (ANTARA) - Kebijakan penggunaan senjata api (senpi) untuk petugas imigrasi perlu diikuti dengan pelatihan berstandar kepolisian atau militer, kata pengamat militer dan pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi.
Fahmi menjelaskan bahwa pelatihan dengan standardisasi khusus itu penting demi mengantisipasi kejadian yang mengancam keselamatan sekaligus mencegah penyalahgunaan.
"Petugas yang diberi kewenangan membawa senjata api harus melalui pelatihan yang serupa dengan standar di kepolisian atau militer. Ini bukan hanya soal penggunaan senjata, melainkan juga penanganan situasi yang tepat dan de-eskalasi konflik/krisis," kata Khairul Fahmi, yang juga salah satu pendiri ISESS, saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Rapat Paripurna Ke-7 DPR RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024—2045 pada hari Kamis (19/9) menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (RUU Keimigrasian) menjadi undang-undang.
Dalam UU Keimigrasian hasil revisi itu, Pemerintah dan DPR RI sepakat untuk mengizinkan petugas imigrasi menggunakan senjata api untuk menegakkan hukum dalam tugas-tugas keimigrasiannya.
Terkait dengan itu, Fahmi menyebut sebelum diperkuat oleh UU Imigrasi yang baru, ketentuan menggunakan senpi itu telah diatur oleh Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 26 Tahun 2020 tentang Penjagaan, Pengamanan, dan Tindakan Administratif terhadap Orang Asing di Lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi.
Oleh karena itu, Fahmi mengingatkan penguatan kebijakan penggunaan senpi dalam UU Imigrasi yang baru pun perlu diikuti langkah-langkah pencegahan seperti pelatihan khusus standar militer atau kepolisian, kemudian pengawasan psikologis yang ketat terhadap mereka yang menggunakan senjata api, dan evaluasi rutin kondisi petugas.
"Evaluasi rutin itu untuk memastikan petugas yang diberi senjata berada dalam kondisi mental yang stabil," kata Fahmi.
Baca juga: Paripurna DPR setujui RUU Keimigrasian jadi undang-undang
Baca juga: UU Imigrasi Prancis picu unjuk rasa besar di Paris
Dengan demikian, kata dia, imigrasi perlu membuat sistem audit yang mengecek dan mengevaluasi secara rutin penggunaan senjata api, kemudian menetapkan sanksi yang jelas dan tegas terhadap segala bentuk pelanggaran dan penyalahgunaan.
"Transparansi dalam hal ini kebijakan terkait sanksi juga penting agar publik dapat memantau dan mengkritisi apabila terjadi penyalahgunaan," kata dia.
Langkah-langkah antisipasi dan pencegahan lainnya juga perlu ditetapkan oleh Ditjen Imigrasi, di antaranya mencakup prosedur tetap dan pedoman penggunaan senjata, serta tata kelola penyimpanan senjata yang tepat dan aman.
Meskipun punya kewenangan memakai senjata api, menurut dia, petugas imigrasi tetap wajib mengedepankan tindakan pencegahan karena mereka berhadapan dengan mayoritas warga sipil yang tak bersenjata.
"Tindakan pencegahan harus lebih diutamakan. Senjata api hanya boleh digunakan dalam keadaan darurat yang sangat terukur sebagai tindakan terakhir sehingga perlu ada pedoman ketat tentang kapan penggunaan senjata api diizinkan," kata Fahmi.
Dalam pelaksanaannya nanti, petugas imigrasi yang menggunakan senjata api sebaiknya harus selalu membawa dokumen-dokumen administratif berupa izin penggunaan senjata, surat perintah penugasan atau perjalanan yang menyebutkan senjata api sebagai kelengkapan yang dibawa selama penugasan.
Terkait dengan tata kelola penyimpanan, Fahmi mengingatkan kepada pihak Ditjen Imigrasi perlu membuat pedoman dan mengatur senjata-senjata api yang disimpan di kantor, senjata yang dibawa pulang, atau yang digunakan selama penugasan/perjalanan.
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024