Orang tidak boleh menjadi hakim bagi kepentingannya sendiri, ini `konflik of interest`,"

Jakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mengatakan secara prinsipal hakim tidak boleh memutus perkara untuk kepentingan sendiri.

"Orang tidak boleh menjadi hakim bagi kepentingannya sendiri, ini konflik of interest," kata Bagir Manan usai menjadi pembicara seminar dengan tema "Mengembalikan Keagungan Mahkamah Agung di Jakarta, Rabu.

Hal ini diungkapkan Bagir menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan pengujian UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sehingga kewenangan MK mengadili sengketa Pilkada menjadi hilang.

"Dengan melepaskan wewenang dengan menggunakan kewenangannya itu tidak boleh. Bagi saya sangat prinsipil putusan MK itu mengadili perkara untuk kepentingan mereka sendiri," katanya.

Terkait dengan putusan MK tersebut, Bagir mengusulkan ada lembaga khusus yang mengadili sengketa Pilkada di luar MK dan MA.

"Saya menganjurkan sengketa Pilkada lebih baik dibuat lembaga khusus saja. Untuk menyelesaikan itu tidak usah diberi nama pengadilan, jadi lembaga menyelesaikan sengketa pilkada, sebab sama saja nanti dibawa ke MA nanti ada penyakitnya lagi," kata Ketua Dewan Pers ini.

MK telah mengabulkan pengujian UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sehingga kewenangan MK mengadili sengketa Pilkada menjadi hilang.

Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 236C UU Pemda dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Namun MK tetap berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama belum ada Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut.

Dalam pertimbangannya, kewenangan dan kewajiban MK telah ditentukan secara limitatif oleh UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

Dalam UUD 1945 kewenangan mahkamah tersebut meliputi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Adapun kewajiban Mahkamah adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Sedangkan pemilihan kepala daerah tidak diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 akan tetapi diatur secara khusus dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, sehingga penambahan kewenangan MK untuk mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dengan memperluas makna pemilihan umum yang diatur Pasal 22E UUD 1945 adalah inkonstitusional.

(J008/Y008)

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014