Jakarta (ANTARA) - Pawang hujan bukan lagi hal yang asing di Indonesia, banyak acara-acara besar yang diadakan di ruang terbuka menggunakan jasa pawang hujan untuk melancarkan jalannya acara.

Pawang hujan merupakan seorang individu yang diyakini memiliki kemampuan untuk mempengaruhi cuaca, terutama dalam hal mencegah hujan atau memindahkan awan agar tidak turun di lokasi tertentu. Kemampuan ini biasanya dipraktikkan dalam acara-acara besar, seperti pernikahan, konser, atau kegiatan luar ruangan lainnya.

Di Indonesia, keberadaan pawang hujan sudah dikenal luas dan menjadi bagian dari tradisi budaya, terutama di daerah pedesaan yang masih sangat lekat dengan kepercayaan adat.

Metode yang digunakan oleh pawang hujan pun beragam, mulai dari ritual-ritual tertentu, doa-doa, hingga penggunaan media seperti dupa, air, atau benda-benda tertentu yang dianggap memiliki kekuatan magis.

Baca juga: Komentar Sandiaga tentang pawang hujan di MotoGP Mandalika 2022

Berikut daftar pawang hujan yang terkenal di Indonesia dilansir dari berbagai sumber pada Senin (23/9/2024).

1. Mbak Rara

Salah satu pawang hujan yang terkenal di Indonesia adalah Raden Rara Isti Wulandari atau yang akrab dipanggil Mbak Rara. Nama Mbak Rara mencuat kepermukaan usai aksinya viral di sosial media ketika menjadi pawang hujan di ajang MotoGP Mandalika 2022.
​​​​​​​
Mbak Rara lahir pada 22 Oktober 1983 di Jayapura, Papua. Kabarnya kini ia menetap di Denpasar, Bali.

2. Mbah Boedgall
​​​​​​​

Mbah Boedgall adalah salah satu pawang hujan yang cukup dikenal di Indonesia. Ia sering diminta untuk menjaga kondisi cuaca dalam berbagai acara besar, terutama di Jakarta. Keahlian Mbah Boedgall dalam "mengatur" hujan sering dimanfaatkan untuk acara-acara penting, baik acara pemerintahan maupun swasta.

Menariknya, Mbah Boedgall mengungkapkan bahwa kemampuannya dalam mempengaruhi cuaca datang secara alami, tanpa adanya latar belakang atau sejarah khusus yang mendasari. Ia merasa bakat ini muncul begitu saja, tanpa ia pelajari secara formal.

Dalam sebuah pernyataannya, Mbah Boedgall menyebut bahwa ia memiliki hubungan darah dengan Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo yang terkenal dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa. “Saya masih keturunan Sunan Kalijaga dari Demak,” ungkapnya saat berbicara mengenai asal-usulnya.

Baca juga: Presiden: "gala dinner" G20 tak pakai pawang hujan tapi rekayasa cuaca

Salah satu momen berkesan dalam karier Mbah Boedgall sebagai pawang hujan adalah ketika ia dipercaya untuk menjaga cuaca saat acara penanaman pohon di Waduk Pluit. Acara ini dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Kemampuannya dalam menjaga kondisi cuaca dalam acara tersebut semakin memperkuat reputasinya sebagai pawang hujan terkemuka di Tanah Air.

3. Mbah Sugiyo
​​​​​​​

Mbah Sugiyo adalah salah satu pawang hujan yang terkenal dan berasal dari Desa Ketro, Kecamatan Tanon, Sragen. Dengan pengalaman selama puluhan tahun, ia telah dikenal luas sebagai pawang hujan senior di daerahnya bahkan se-Indonesia.

Keunikan dari Mbah Sugiyo adalah julukannya, ia dijuluki "Mbah Awan Kinton" yang diambil dari karakter awan terbang dalam kartun Dragon Ball. Julukan ini diberikan oleh warga setempat, menandakan kekaguman mereka terhadap kemampuannya dalam memindahkan hujan.

Hampir setiap hari, ada saja orang yang datang ke rumahnya untuk meminta bantuan, meski kini Mbah Sugiyo hanya melayani masyarakat sekitar Sragen karena faktor usianya.

Lalu, hal lain yang menarik adalah, Mbah Sugiyo tidak pernah menetapkan tarif untuk jasanya sebagai pawang hujan. Ia meyakini bahwa balasan yang sebenarnya akan datang dari Tuhan, bukan dari bayaran yang diterima di dunia. Sikap ini menjadikannya semakin dihormati oleh warga sekitar.

Baca juga: Gubernur Bali: G20 tidak pakai pawang hujan tapi doa rutin

4. Mbah Rebo
​​​​​​​

Pawang hujan terkenal terakhir adalah Mbah Rebo, pria yang memiliki nama asli Teguh Sri Suseno ini sudah tidak bisa lagi diragukan kemampuannya dalam mengendalikan cuaca yang membuat namanya populer di kalangan masyarakat, khususnya mereka yang membutuhkan bantuan untuk menunda hujan di acara-acara penting.

Mbah Rebo pertama kali mencoba kemampuannya sebagai pawang hujan pada tahun 1982, namun baru mulai dikenal luas sekitar tahun 2006. Popularitasnya meningkat setelah berhasil menjalankan tugasnya saat membantu di acara pernikahan rekan kerjanya.

"Pada waktu itu teman saya, Pak Tawal, mengadakan acara pernikahan. Dia percaya pada saya untuk menangkal hujan, meskipun banyak pawang lain yang lebih dikenal saat itu," kata Mbah Rebo.

Salah satu pengalaman yang paling diingat Mbah Rebo adalah ketika dia diminta untuk menangkal hujan di Papua. Ia diminta menjaga kondisi cuaca agar tetap stabil selama berlangsungnya proyek pembangunan jalan di wilayah tersebut. Mbah Rebo menghabiskan sekitar 20 hari di Papua, memastikan bahwa cuaca tetap mendukung pembangunan jalan dari Wamena ke Habema dan Puncak Jaya.

Selain itu, Mbah Rebo juga dikenal sebagai pawang hujan andalan almarhumah Bu Tien Soeharto dan kerap diminta untuk menangani cuaca di kawasan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Pengalaman panjang membuatnya menjadi salah satu pawang hujan yang dihormati dan sering dipercaya untuk tugas-tugas penting dalam pengendalian cuaca.

Dari beberapa sosok pawang hujan yang telah disebutkan, jelas bahwa fenomena pawang hujan telah menjadi bagian dari tradisi dan budaya di Indonesia, terutama dalam upaya mengamankan cuaca pada acara-acara penting. Baik Mba Rara, Mbah Boedgall, Mbah Sugiyo, maupun Mbah Rebo, mereka semua dikenal atas kemampuan uniknya dalam menangkal hujan dan menjaga cuaca tetap kondusif.

Meski praktik ini menimbulkan berbagai pandangan, terutama dari sisi agama dan sains, tidak bisa dipungkiri bahwa peran pawang hujan tetap diminati dan dipercaya oleh banyak masyarakat Indonesia. Fenomena ini menegaskan betapa kaya dan beragamnya tradisi lokal yang terus bertahan di tengah modernitas.

Baca juga: Apa itu pawang hujan dan hukumnya dalam Islam?

Baca juga: Dipanggil Gubernur, WIKA-Nindya pulangkan Rara pawang hujan dari Aceh

Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2024