Denpasar (ANTARA) - Siang itu, Putu Suartama melangkah cepat di tengah kerumunan, menyusuri satu-satunya akses jalan yang membelah deretan pedagang cendera mata.

Sesekali ia menyeka keringat di dahinya dan beberapa kali memperbaiki posisi topi yang melindungi kepalanya karena panas terik sinar Matahari.

Tak lama setelah berjalan dari kawasan parkir kendaraan, ia pun tiba di lokasi unik penanda ujung barat tanah air, yakni tugu Kilometer Nol Indonesia di Sabang, Provinsi Aceh.

Sesampainya di monumen tersebut, para pengunjung disambut oleh kawanan monyet dari kawasan hutan di Sabang yang menjadi habitat alaminya.

Tugu dua lantai setinggi 43 meter itu memiliki bentuk angka nol, yang kedua sisinya terdapat senjata khas Aceh yakni rencong.

Di puncak tugu dengan dominan berwarna biru tersebut terdapat burung garuda yang seakan mencengkeram kesatuan di tugu titik nol yang dibangun di atas tebing dan menghadap langsung Samudera Hindia.

Monumen yang dibangun pada 1997 itu menjadi daya tarik utama saat Putu, delegasi kontingen Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumatera Utara dari Provinsi Bali, memutuskan untuk bertandang di Kota Sabang yang berada di Pulau Weh.

Alasannya, bangunan itu memiliki keunikan sebagai penanda geografis ujung paling barat Indonesia yang terletak di tengah hutan di Desa Iboih Ujong Ba’u, Kecamatan Sukakarya, Kota Sabang.
 

Titik temu bangsa Indonesia

Kunjungan pria berusia 60 tahun di Kilometer Nol Indonesia itu terbilang istimewa karena baru “berjodoh” dengan waktu. Ia sudah tiga kali berkunjung ke Aceh, namun baru kali ini memiliki kesempatan mengunjungi monumen yang sudah lama ingin ia sambangi itu.

Kesempatan itu pun tidak disia-siakan untuk mengabadikan diri dengan latar monumen tersebut dan mencetak sertifikat kunjungan seharga Rp30 ribu di Tugu Kilometer Nol Indonesia dari Pemerintah Kota Sabang.

Sertifikat itu menjadi bukti dan kenang-kenangan dirinya yang tercatat sebagai pengunjung ke-301.568 pada 14 September 2024.

Ada juga pengunjung lain, yakni Adrian Amurwonegoro asal Surakarta, yang juga menginjakkan kakinya untuk pertama kali di titik nol wilayah darat paling barat Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di titik ikonik itu pun menjadi ajang bertemu bangsa Indonesia dari sejumlah daerah di tanah air yang bersua dalam satu kesempatan dan satu tujuan mulai dari wilayah Sumatera, Sulawesi, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, hingga Papua.

Percakapan kecil dan sederhana memulai pertemuan para anak bangsa itu yang menjadi awal rasa saling mengenal.

Dari saling mengenal secara singkat itu beralih menjadi saling membantu satu sama lain untuk hal-hal kecil namun bermakna, misalnya, bergantian ketika ingin mengabadikan momen yang bisa dibilang langka tersebut.

Pengunjung berfoto pada ikon Tugu Nol Kilometer Indonesia di Kota Sabang, Pulau Weh, Aceh, Sabtu (14/9/2024) ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Akses Sabang

Untuk menuju Sabang, ada pilihan penerbangan langsung dari Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh menuju Bandara Maimun Saleh, Kota Sabang. Namun jadwal penerbangan tidak ada setiap hari, hanya ada pada hari tertentu.

Akses lain yang bisa ditempuh, wisatawan dapat menyeberang dari Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue, Banda Aceh menuju Pelabuhan Balohan di Kota Sabang, Pulau Weh.

Bagi wisatawan yang ingin menikmati perjalanan santai sembari menikmati suasana laut dan gugusan perbukitan dan pulau, dapat menggunakan kapal penyeberangan roro dengan tarif untuk penumpang pejalan kaki dewasa sebesar Rp35 ribu selama 2 jam pelayaran.

Wisatawan juga dapat menggunakan kapal cepat dengan tarif Rp100.000 per penumpang selama sekitar 45 menit pelayaran.

Setelah tiba di Pelabuhan Balohan, wisatawan dapat menyewa kendaraan roda empat atau roda dua dengan durasi perjalanan darat sekitar 1 jam dari pelabuhan menuju titik Kilometer Nol Sabang.

Sepanjang perjalanan yang berliku dan menanjak itu, mata wisatawan disuguhkan pemandangan laut, hutan bakau, dan perbukitan.

Pengunjung dapat mengamati pemandangan Samudera Hindia dari Tugu Nol Kilometer Indonesia di Kota Sabang, Pulau Weh, Aceh, Sabtu (14/9/2024) ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Tujuan wisata

Suasana alam di kawasan Tugu Kilometer Nol Indonesia di Sabang itu memanjakan mata para pengunjung.

Selain hijau pemandangan hutan tropis dan hutan bakau di sekitar tebing karang, pengunjung juga dimanjakan dengan pemandangan birunya laut lepas Samudera Hindia yang berbatasan langsung dengan beberapa negara, di antaranya, Kepulauan Andaman dan Nikobar yang merupakan bagian dari India.

Kemudian, berbatasan dengan Thailand dan Malaysia yang menjadikan pulau ini memiliki posisi yang begitu unik dan strategis sebagai penanda ujung barat wilayah Indonesia.

Selain menikmati wisata sejarah di tugu tersebut, wisatawan juga bisa melakukan wisata bahari di sepanjang Pulau Weh di antaranya menyelam sambil mengamati ikan nemo.

Keberadaan daya tarik wisata Tugu Nol Kilometer itu pun menambah pemasukan ekonomi salah satunya kepada pelaku jasa transportasi pariwisata, Iswandi.

Pria asal Sabang itu pun merasakan dampak ekonomi, apalagi Aceh menjadi tuan rumah bersama Sumatera Utara untuk ajang PON XXI yang menarik minat kontingen dari 38 provinsi di tanah air untuk mengunjungi Sabang.

Pada hari biasa, ia biasanya mengantarkan satu kali perjalanan pergi pulang dari pelabuhan menuju tugu dan kembali ke pelabuhan.

Seiring peningkatan kunjungan wisatawan, ia bahkan melayani dua hingga tiga kali perjalanan.

Kondisi geografis Sabang di ujung barat Indonesia itu kembali mengingatkan lirik lagu wajib nasional berjudul “Dari Sabang Sampai Merauke” yang diciptakan oleh R Soehardjo pada 1961.

Dari lagu itu, Sabang di Pulau Weh, Provinsi Aceh, menjadi awal jajaran pulau-pulau di tanah air menyambung menjadi satu hingga di Merauke, Provinsi Papua, yang membentuk Indonesia.

Melalui titik Kilometer Nol itulah masyarakat di tanah air kembali disadarkan bahwa Indonesia yang raya dengan beragam latar, begitu penting untuk menjaga kedaulatan dan nasionalisme, semuanya demi keutuhan bangsa di pangkuan Ibu Pertiwi.

Editor: Achmad Zaenal M
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024