Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Wahidin menyatakan bahwa prevalensi penggunaan kontrasepsi modern atau modern contraceptive prevalence rate (mCPR) di Indonesia masih belum sesuai target.

"Tahun 2024 merupakan tahun akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Kita masih punya banyak pekerjaan rumah, termasuk meningkatkan mcPR menjadi 63,41, dan data terakhir berdasarkan pendataan keluarga BKKBN baru 60,9, sehingga tahun ini harus ada lonjakan yang berarti," katanya dalam diskusi yang diikuti dalam jaringan di Jakarta, Senin.

Ia menyampaikan, selain mCPR, pekerjaan rumah lainnya yakni menurunkan angka kelahiran total atau total fertility rate (TFR) menjadi 2,1 dan mengurangi angka disparitas TFR per wilayah.

"Saat ini angka TFR sudah di 2,14 berdasarkan hasil pendataan keluarga. Kalau dirinci di kabupaten atau provinsi, masih terjadi disparitas yang cukup lebar. Beberapa masih di atas 3 sedangkan lainnya sudah di bawah 2,1," ujar dia.

Baca juga: BKKBN ungkap penyebab KB pascapersalinan di Babel masih rendah

Baca juga: UNFPA: Praktik mandiri bidan perlu dikelola demi pemerataan layanan KB


Kemudian, target selanjutnya menurunkan kebutuhan ber-KB yang tidak dipenuhi atau unmet need menjadi sekitar 7,4 persen.

"Ini menjadi target yang sangat penting karena pasangan usia subur yang sudah tidak memiliki anak lagi tetapi tidak bisa mendapatkan kontrasepsi itu berpengaruh terhadap pertumbuhan kependudukan," ucapnya.

Selain itu, ia menyebutkan BKKBN juga memiliki pekerjaan rumah untuk menurunkan angka kelahiran, khususnya rata-rata angka kelahiran menurut umur atau age specific fertility rate di usia 15-19 tahun.

"Karena kelahiran di usia tersebut sangat berisiko, harapannya di tahun 2024 paling tidak menjadi 18 per 1.000 kelahiran," tuturnya.

Ia menegaskan, untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, diperlukan kebijakan penyelenggaraan keluarga berencana yang komprehensif, berbasis kewilayahan, dan memiliki segmentasi sasaran.

"Kebijakan di BKKBN saat ini mulai melakukan program asimetris, kita tidak melaksanakan satu program untuk semua wilayah, tetapi ada beberapa daerah yang menjadi skala prioritas untuk program-program tertentu," kata dia.

Menurutnya, untuk meningkatkan akses kualitas pelayanan KB, di kebijakan terbaru mulai tahun 2025, BKKBN terus berupaya terus meningkatkan kualitas dan menjaga kuantitas.

"Salah satu strategi yang dilakukan adalah melakukan penguatan kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan dan jejaring, termasuk tenaga kesehatan yang melayani KB yaitu bidan," paparnya.

Ia menegaskan, bidan memiliki beberapa peran penting, di antaranya menjelaskan metode kontrasepsi sesuai dengan kebutuhan, membantu calon akseptor KB memilih kontrasepsi yang tepat, dan membuat calon akseptor KB merasa nyaman saat pelayanan KB.

Selain itu, juga menginformasikan kemungkinan efek samping pemakaian metode kontrasepsi, meminta akseptor KB kembali untuk kunjungan pulang pelayanan KB, melakukan konseling KB pada saat antenatal care (pemeriksaan ibu hamil dan janin), pemantauan kualitas pelayanan KB secara mandiri, serta penanganan efek samping KB sesuai kewenangan yang diberikan.*

Baca juga: Pemkab Rejang Lebong siapkan insentif untuk 1.022 orang Kader KB

Baca juga: Manggarai Barat catat akseptor KB aktif capai 60 persen dari PUS

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2024