Jakarta (ANTARA) - Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri mengatakan politik harus berorientasi pada peningkatan kualitas peradaban suatu bangsa.
Hal itu disampaikan Megawati dalam orasi ilmiah yang berjudul "Jalan Kebudayaan dan Titik Temu Peradaban" untuk penganugerahan gelar profesor kehormatan bidang pariwisata dan warisan budaya dari Silk Road International University of Tourism and Cultural Heritage (IUTCH), Uzbekistan, Sabtu.
"Dengan wataknya yang seperti ini, politik bertanggung jawab terhadap masa depan umat manusia sedunia," kata Megawati dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.
Baca juga: Megawati: AI tak boleh abaikan kebenaran dan etika kemanusiaan
Dia mengungkapkan dalam pemahaman terhadap peradaban umat manusia, dirinya diajarkan oleh Soekarno atau Bung Karno.
“Bagi saya pribadi, Bung Karno merupakan sosok ayah dan sekaligus guru. Beliau mengajarkan kepada saya bahwa politik itu kehidupan," ujarnya.
Bung Karno juga mengajarkan bahwa rakyat adalah sumber kebudayaan. Makna sumber kebudayaan itu sangatlah luas.
Dia mengatakan manusia sebagai makhluk sosial menyatukan diri dalam komunitas sosialnya, dan membangun kebudayaan bersama, hingga lahirlah bangsa-bangsa.
Dalam komunitas bangsa itu tercipta suatu kehendak bersama, aturan hidup bersama, komitmen terhadap nilai yang disepakati, dan membangun moralitas kelompok, hingga sistem kehidupan berbangsa melalui tatanan hukum bernegara.
Baca juga: Megawati: Dunia perlu kerja sama atasi geopolitik dan global warming
Menurut Megawati, kebudayaan adalah jalan peradaban umat manusia. Dengan menempatkan rakyat sebagai sumber kebudayaan, maka makna kekuasaan pemimpin juga berangkat dari keseluruhan kehendak kolektif rakyat yang dipimpinnya.
“Sekuat apa pun kekuasaan yang dimiliki pemimpin, tidak bisa dilepaskan dari kehendak kolektif rakyat yang membentuknya,” ujar Megawati.
Namun dalam praktiknya, kata Megawati, banyak pemimpin yang melepaskan diri dari hakekat power itu. Dan baginya, sekiranya pemimpin melepaskan diri dari ide atau gagasan yang membentuknya maka pemimpin itu kehilangan hakekat kekuasaannya dan hanya sekedar menjadi aktor.
“Sekiranya pemimpin melepaskan diri dari ide atau gagasan yang membentuknya maka pemimpin itu kehilangan hakikat kekuasaannya dan hanya sekedar menjadi aktor. Aktor inilah yang kemudian melakukan justifikasi terhadap kebijakan yang diambilnya,” tambahnya.
“Demi justifikasi, kuasa yang dimiliki aktor bisa memunculkan kekerasan termasuk menggunakan hukum guna mempertahankan kekuasaannya. Fenomena inilah yang melahirkan perubahan perilaku kekuasaan pemimpin,” pungkas dia
Baca juga: Megawati ajak dunia buat hukum internasional atur penggunaan AI
Berikut daftar gelar kehormatan yang diperoleh Megawati:
1. Waseda University of Tokyo, Tokyo, Jepang, 29 September 2001 (Bidang Politik).
2. Moscow State Institute of International Relations (MGIMO), Moskow, Rusia, 22 April 2003 (Bidang Politik).
3. Korea Maritime and Ocean University, Busan, Korea Selatan, 19 Oktober 2015 (Bidang Politik)
4. Universitas Padjajaran (UNPAD), Bandung, Indonesia, 25 Oktober 2016 (Bidang Politik dan Pemerintahan).
5. Universitas Negeri Padang (UNP), Kota Padang, Indonesia, 27 September 2017 (Bidang Pendidikan Politik).
6. Mokpo National University, Kota Mokpo, Korea Selatan, 16 November 2017 (Bidang Demokrasi Ekonomi).
7. Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Bandung, Indonesia, 8 Maret 2018 (Bidang Politik dan Pemerintahan).
8. Fujian Normal University (FNU), Fuzhou, Fujian, Tiongkok, 5 November 2018 (Bidang Diplomasi Ekonomi).
9. Soka University Japan, Tokyo, Jepang, 8 Januari 2020 (Bidang Kemanusiaan).
10. Universiti Tunku Abdul Rahman, Malaysia, 2 Oktober 2023 (Bidang Sosial).
Berikut dua gelar profesor kehormatan Megawati:
1. Seoul Institute of the Arts (SIA), Seoul, Korsel, 11 Mei 2022 (Bidang Ilmu Kebijakan Seni dan Ekonomi Kreatif).
2. Universitas Pertahanan (Unhan) RI, Bogor, Indonesia, 11 Juni 2021 (Bidang Il
Baca juga: Megawati kenalkan Pancasila dalam lawatannya ke Rusia dan Azerbaijan
Baca juga: Megawati: Indonesia-Rusia komit hidup berdampingan secara damai
Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024