Jakarta (ANTARA) - Governance atau tata kelola, dewasa ini menjadi paradigma yang kerap didengungkan di berbagai organisasi, baik itu pemerintah, perusahaan (swasta dan BUMN), maupun organisasi massa.

Bagi pemerintah, tata kelola berarti segala upaya untuk mengurus publik (masyarakat), sedangkan bagi perusahaan/ swasta adalah menjaga keberlangsungan bisnis agar mampu bertahan dalam jangka panjang.

Meski berbeda apa yang diurus, namun, baik pemerintah maupun perusahaan, memiliki tujuan yang sama, yakni sama-sama memelihara agar kegiatan tersebut dapat terus berkelanjutan.

Sekjen Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) Sidharta Utama menyebut tata kelola dapat diartikan bahwa pemerintah dan sektor usaha mengedepankan aspek lingkungan dan sosial dalam berkegiatan, sehingga mendapat kepercayaan publik.

Dalam menjalankan kegiatan jangan terpaku kepada sektor keuangan saja, tetapi juga aspek lingkungan dan sosial harus mendapat tempat yang sejajar demi keberlangsungan kegiatan tersebut secara berkesinambungan.

Agar organisasi mendapat penghargaan dari publik, maka yang harus diutamakan adalah aspek lingkungan dan sosial dalam berkegiatan.

Bahkan, Sidharta menambahkan bahwa organisasi yang mampu bertahan dalam jangka panjang adalah yang mampu membangun ekonomi, sosial, dan lingkungan secara bersamaan.

Maskapai penerbangan merupakan salah satu sektor yang harus menerapkan tata kelola mengingat Indonesia yang akan menjadikan kawasan pariwisata yang setara dengan negara lain. ANTARA Ganet Dirgantoro

Pedoman

Dalam implementasi tata kelola kerap diintegrasikan dengan risiko dan kepatuhan atau dikenal dengan istilah governance, risk, and compliance (GRC).

Pemerintah telah menerbitkan pedoman dalam rangka penerapan GRC ini, yakni melalui Pedoman umum Governansi Korporat Indonesia (PUG-KI).

Pedoman ini yang lantas diterjemahkan oleh organisasi, termasuk perusahaan, ke dalam peraturan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri menuangkan ke dalam bentuk perda yang mengatur penerapan GRC di lingkungan perusahaan yang berada di bawah naungannya.

Sementara Pimpinan Sekolah Pelatihan Manajemen Tata Kelola CRMS Indonesia Dr. Antonius Alijoyo mengatakan bagi perusahaan, penerapan GRC yang efektif akan membuat kinerja di sektor bisnis akan tumbuh dengan aman dan baik. Hal ini karena didukung kepercayaan masyarakat dan investor yang semakin meningkat.

Terkait hal itu diharapkan perusahaan saat ini mulai menerapkan, tidak hanya GRC, tetapi juga ESG (Environment Social Governance), dan SGDs (Sustainable, Social, Governance) yang tengah menjadi tren perusahaan global saat ini. Hal ini bertujuan agar perusahaan memiliki ketahanan dan kelincahan dalam menjalankan kegiatan.

Agar GRC dapat berjalan dan berkembang secara berkelanjutan, maka harus menjadi budaya di perusahaan, diperlukan kepemimpinan yang memiliki peran dan komitmen tinggi untuk menerapkannya di lingkungan perusahaan. Setiap tahun perusahaan yang menerapkan GRC ini terus mengalami peningkatan. Indikatornya dapat dilihat dari perusahaan yang ikut serta dalam penilaian GRC di tahun ini yang naik 14 persen di banding tahun sebelumnya.


Berbenah

Penerapan tata kelola yang baik kerap dipakai sebagai acuan untuk menyiapkan strategi ke depan. Beberapa perusahaan, bahkan menggunakannya sebelum memutuskan untuk tetap mempertahankan bisnis sampingannya atau malah justru melepaskannya.

Pedagang skala UMKM juga harus mengantisipasi perubahan ke depan yang demikian cepat melalui manajemen risiko. ANTARA Ganet Dirgantoro

Dewasa ini tengah menjadi tren perusahaan melakukan reposisi pada bisnis utamanya agar bisa fokus dalam menghadapi persaingan. Beberapa perusahaan, bahkan melakukan evaluasi apakah bisnis sampingan yang ditekuni selama ini sudah memberikan kontribusi yang positif terhadap bisnis utama.

Ada sejumlah strategi yang dijalankan apabila bisnis sampingan ini dinilai belum optimal. Pertama membenahi GRC agar bisa menjadi lebih baik. Selain itu, ada juga yang melepas kepemilikan karena ingin fokus terhadap bisnis utamanya agar terhindar dari risiko.

Pertimbangan tata kelola dan risiko juga kerap dipakai untuk mengelola utang agar kinerja perusahaan tetap "kinclong" ke depan. Salah satu perusahaan terbuka (tbk), bahkan tidak ragu melepas sebagian saham rumah sakit miliknya agar bisa fokus terhadap bisnis utamanya yang memang sama sekali bukan di bidang pelayanan kesehatan.

Meskipun demikian, ada juga perusahaan yang melepas kepemilikan di anak usaha karena dianggap sudah tidak prospektif lagi untuk menjawab tantangan bisnis ke depan.

Pemprov DKI Jakarta, termasuk pemerintah daerah (pemda), sangat ketat dalam menerapkan GRC di lingkungan perusahaan yang ada di bawahnya (BUMD). Tujuannya agar selain bisa mendukung program yang sedang dijalankan juga bisa mandiri dalam mencari pendapatan, seperti halnya perusahaan pada umumnya.

Salah satu contoh dalam pengelolaan Jakarta International Stadium (JIS) di Jakarta Utara. BUMD yang mengelola kawasan ini tentunya harus bisa menjaga keberlangsungan stadion yang dibangun dengan nilai Rp4,5 triliun dengan menyelenggarakan berbagai event olahraga dan hiburan.

Pemprov DKI Jakarta beserta BUMD di bawahnya terus membenahi infrastruktur JIS tersebut agar menjadi stadion berstandar internasional. Pembenahan tersebut, mulai dari akses pengunjung, transportasi, lapangan parkir, dan berbagai kelengkapan lain terus dibenahi demi menyetarakan stadion tersebut serupa dengan stadion di luar negeri.

Untuk itulah penerapan GRC, yakni tata kelola, risiko, dan kepatuhan dalam menjalankan kegiatan menjadi prinsip utama yang tidak bisa ditawar-tawar demi keberlangsungan fasilitas tersebut untuk jangka panjang.

Keberadaan Jakarta sebagai kota bisnis setelah tidak lagi menyandang ibu kota menjadikan penerapan GRC, baik di pemerintahan maupun badan usaha, menjadi hal yang sangat penting, terutama untuk menjawab berbagai tantangan yang bakal dihadapi ke depan.

Melalui penataan dan manajemen risiko yang baik, maka organisasi bisa dengan cepat beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang bakal dihadapi. Lewat GRC sendiri, maka unit-unit usaha yang ada di dalamnya siap untuk melakukan perubahan ke depan.

Sebagai gambaran kebijakan pertanian perkotaan (urban farming) di Jakarta, meski dalam skala yang masih kecil, namun kebijakan yang digulirkan Pemprov DKI Jakarta memang menjadi keharusan untuk menghadapi perubahan iklim dan krisis pangan dunia.

Lewat GRC tidak ada kata terlambat untuk melakukan perubahan. Perubahan yang dilakukan haruslah dipastikan untuk memastikan sumber-sumber daya selalu tersedia. Artinya perusahaan tidak sekadar melihat kepentingan dirinya saja, tetapi juga memikirkan lingkungan dan masyarakat yang ada di sekitar untuk bisa memberikan dukungan.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024