Accra (ANTARA) - Motivasi di balik abolisi perbudakan 

Saat menempuh studi di Universitas Oxford pada 1938, Eric Williams membuat klaim kontroversial dalam bukletnya yang berjudul "Capitalism and Slavery" (Kapitalisme dan Perbudakan), dengan menyatakan bahwa abolisi perbudakan di Barat tidak didorong oleh kebangkitan moral, melainkan kepentingan ekonomi dan kebutuhan strategis.

Argumen ini menggemparkan kalangan akademisi, karena menantang pandangan umum yang meyakini bahwa kemanusiaan sebagai faktor utama di balik gerakan abolisionis.

Naskah Williams pada awalnya bahkan mendapat penolakan dari penerbit Inggris Fredric Warburg karena dianggap "bertentangan dengan tradisi Inggris."

Williams, yang kemudian menjadi perdana menteri Trinidad dan Tobago, menunjukkan bahwa kekayaan yang dihasilkan oleh orang-orang yang diperbudak telah membuka jalan bagi Revolusi Industri, dan ketika kapitalisme semakin mapan, perbudakan menjadi penghalang bagi perdagangan bebas dan ekspansi kapitalis lebih lanjut.

Sejarawan Ghana, Yaw Anokye Frimpong, menjelaskan bahwa penurunan permintaan untuk pekerja budak utamanya dipicu oleh kemajuan teknologi.

Ketika mesin-mesin mulai beroperasi sepanjang waktu di negara-negara industrialis, kebutuhan akan tenaga kerja manual pun menurun, sehingga pekerja budak, yang memiliki keterbatasan dalam efisiensi dan jam kerja, menjadi beban ekonomi.

Penghapusan perbudakan, menurut sejarawan tersebut, bukanlah hasil dari pencerahan moral yang terjadi tiba-tiba, melainkan hasil dari berbagai faktor, termasuk pergeseran pola produksi, perdebatan moral, dan tantangan hukum.

Selain itu, ketika para pedagang budak dan pemilik budak diharuskan untuk melepaskan "properti" mereka, mereka menerima kompensasi dalam jumlah besar.

Sebagai contoh, nenek moyang mantan perdana menteri Inggris David Cameron menerima sejumlah besar uang setelah disahkannya Undang-Undang Abolisi Perbudakan tahun 1833.

Mirisnya, jutaan warga Afrika yang menjadi korban perbudakan tidak menerima kompensasi apa pun atas penderitaan mereka selama berabad-abad.

Seiring kemajuan Revolusi Industri, para kapitalis Barat yang semakin berdaya pun bersaing mencari bahan baku yang lebih murah dan pasar yang lebih luas. Perkebunan kolonial, yang bergantung pada pekerja budak, memonopoli pasokan bahan baku.

Kerja paksa dalam jangka panjang dan degradasi lahan menyebabkan berkurangnya produktivitas dan biaya yang lebih tinggi, sehingga mendorong para kapitalis baru itu mencari cara merombak ekonomi perkebunan yang bergantung pada perbudakan.

Pada saat yang sama, orang-orang Afrika tak pernah berhenti memberikan perlawanan terhadap perbudakan. Terinspirasi oleh Perang Kemerdekaan Amerika dan Revolusi Prancis, pemberontakan berskala besar meletus pada akhir abad ke-18, dan yang terbesar Revolusi Haiti.

Pemberontakan-pemberontakan ini menyebabkan biaya untuk mempertahankan perbudakan menjadi semakin tinggi.

Pada 1807, Parlemen Inggris mengesahkan Undang-Undang Abolisi Perdagangan Budak, yang kemudian diikuti oleh undang-undang serupa di negara-negara Eropa lainnya.

Meski demikian, perdagangan keji yang mendatangkan keuntungan besar ini tetap berlangsung secara terselubung.

Demi menghindari denda, para pedagang bahkan tak segan mengikat tawanan mereka dengan batu dan melemparkannya ke laut di tengah pengejaran pihak berwenang di laut. Perdagangan budak trans-Atlantik baru benar-benar berakhir pada akhir abad ke-19.

Namun, penderitaan Afrika masih jauh dari selesai. Setelah Konferensi Berlin 1884-1885, negara-negara Barat semakin gencar memperebutkan Afrika, yang berujung pada pecahnya benua tersebut.

Pemecahan yang sembrono ini meninggalkan warisan kemiskinan dan keterbelakangan di Afrika yang masih berlangsung hingga saat ini.

"Kami awalnya memiliki tulisan dan cara berkomunikasi sendiri. Perbudakan telah merenggut banyak anak muda Afrika dan mendatangkan malapetaka pada warisan peradaban dan perkembangan sosial Afrika," kata Anokye Frimpong.

Dia juga mengungkapkan bahwa pemberlakuan perbatasan buatan selama masa penjajahan telah memecah belah persatuan Afrika. Jejak perpecahan ini bahkan masih terlihat di negara-negara seperti Ghana.

Di dalam Taman Memorial Kwame Nkrumah di Accra, sebuah kutipan dari tokoh pemimpin Pan-Afrika itu berbunyi, "Saya bukan orang Afrika karena saya lahir di Afrika, tetapi karena Afrika lahir di dalam diri saya".

Ghana memproklamasikan kemerdekaannya pada 6 Maret 1957, dan menjadi negara Afrika sub-Sahara pertama yang membebaskan diri dari kekuasaan kolonial Barat. Pada hari bersejarah itu, Nkrumah berkata, "kemerdekaan kami tidak ada artinya kecuali jika dikaitkan dengan pembebasan total benua Afrika."

Nkrumah, yang dikenal sebagai "Bapak Ghana", merupakan pendukung yang gigih untuk gerakan Pan-Afrikanisme. Dalam bukunya "Africa Must Unite" (Afrika Harus Bersatu), dia menyerukan penyatuan semua negara Afrika untuk mencapai kemerdekaan dan kemakmuran sejati.

Visi tokoh Pan-Afrikanisme itu memberikan pengaruh besar bagi para keturunan orang Afrika yang diperbudak di seluruh kalangan diaspora.

Konferensi Pan-Afrika pertama yang diadakan di London pada 1900 mempertemukan para delegasi dari Amerika Serikat, Hindia Barat, dan Afrika untuk mendiskusikan penderitaan global orang kulit hitam dan menuntut pemerintahan sendiri untuk koloni Afrika dan Karibia.

Setahun setelah kemerdekaan Ghana, Konferensi Negara-Negara Afrika Merdeka untuk pertama kalinya diselenggarakan di Accra pada April 1958, yang meletakkan dasar bagi pembentukan Organisasi Persatuan Afrika (Organization of African Unity/OAU).

"Perjuangan kemerdekaan Ghana bukan hanya tentang membebaskan satu negara, melainkan juga tentang membebaskan seluruh benua dari cengkeraman kolonial dan memulihkan persatuan Afrika," ujar Anokye Frimpong.

"Saat ini, negara-negara Afrika berjuang untuk mengatasi warisan sejarah dan membangun masa depan yang bersatu dan sejahtera," kata dia.

Foto yang diabadikan pada 17 Februari 2024 ini menunjukkan bagian luar kantor pusat Uni Afrika (UA) di Addis Ababa, Ethiopia. (Xinhua/Li Yahui)

Didirikan pada 1963, OAU mewujudkan cita-cita Pan-Afrika, memainkan peranan penting dalam dekolonisasi Afrika dan mediasi konflik antarnegara. OAU kemudian digantikan oleh Uni Afrika (AU) pada 2002, yang menandai babak baru dalam upaya Afrika untuk mencapai kemandirian dan pembangunan.

Pada 1 Agustus 1998, sisa-sisa jasad dua orang Afrika yang diperbudak dibawa pulang melewati "Door of No Return" di Kastel Cape Coast, Ghana, untuk kembali ke tanah air mereka. Aksi simbolis ini mengubah "Door of No Return" menjadi "Door of Return", yang mengantarkan era baru untuk penghormatan, rekonsiliasi, dan solidaritas.

Pada pertemuan gabungan di Accra pada November 2023, delegasi Uni Afrika dan CARICOM sepakat membentuk dana pampasan global. Inisiatif ini ditujukan untuk meminta permintaan maaf resmi dan pampasan dari negara-negara Eropa atas kekejaman perbudakan.

Berbicara dalam konferensi tersebut, Presiden Ghana Akufo-Addo menekankan bahwa meskipun tidak ada jumlah uang yang sepadan yang mampu memulihkan besarnya kerusakan yang disebabkan oleh perdagangan budak trans-Atlantik, isu pampasan merupakan isu yang harus dihadapi oleh dunia dan tidak bisa lagi diabaikan.

Mensah, seorang pemandu wisata di Ghana, mengungkapkan bahwa mereka akan terus melangkah maju, tetapi tidak boleh melupakan sejarah. Penting untuk menghargai budaya dan nilai-nilai yang ada, serta menjadikannya sebagai pemandu di masa depan, agar tragedi masa lalu tidak terulang kembali, tuturnya.

Memang, sejarah kelam perbudakan tak pernah hilang dari ingatan orang Afrika. Dengan semakin lantangnya suara dari negara-negara Global South, bangsa Afrika, sebagai bagian dari kelompok itu, menjadi lebih percaya diri dan berdaya untuk memperjuangkan keadilan dan hak-hak yang sepatutnya mereka dapatkan.


 

Penerjemah: Xinhua
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2024