Jakarta (ANTARA) - Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Merrijantij Punguan Pintaria mengatakan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang sedang dirumuskan dalam Rencana Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) perlu diperhatikan dengan seksama.

Hal tersebut mengingat dampaknya terhadap perekonomian nasional dan masyarakat luas, khususnya bagi industri hasil tembakau.

Merrijantij melalui keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat menggarisbawahi pentingnya menjaga keseimbangan antara kesehatan masyarakat dan keberlangsungan industri.

"Kami semua sepakat untuk menciptakan masyarakat yang sehat, tetapi kita juga harus mempertimbangkan keberadaan lebih dari 1.300 industri yang mempekerjakan sekitar 537 ribu orang," ujarnya.

Angka tersebut menunjukkan tenaga kerja langsung yang diserap pabrikan pada industri tersebut. Lebih dari itu, industri hasil tembakau juga menjadi sumber penghidupan bagi lebih dari 6 juta tenaga kerja, termasuk petani tembakau dan cengkih hingga peritel.

Menurut dia, dalam lima tahun terakhir, industri tembakau mengalami penurunan signifikan, terutama di golongan rokok yang lebih mahal. Penurunan sebesar 8,02 persen menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sensitif terhadap harga, yang mengarah pada pergeseran konsumsi ke rokok yang lebih murah.

Hal itu menunjukkan betapa pentingnya strategi kebijakan yang mempertimbangkan daya beli masyarakat.

Ia juga mencatat implementasi Pasal 435 PP 28/2024 mengenai standardisasi kemasan dan desain produk tembakau seharusnya melibatkan masukan dari Kemenperin. Sayangnya, Kemenperin tidak dilibatkan dalam proses public hearing yang digelar oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sehingga suara mereka terabaikan.

"Kejadian ini berulang, dan kami berharap untuk diikutsertakan dalam diskusi kebijakan yang berpengaruh besar terhadap industri kami," katanya.

Lebih lanjut, ujar dia, kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek, yang telah diterapkan di beberapa negara, tidak serta merta menurunkan prevalensi perokok. Sebaliknya, ada kemungkinan meningkatnya peredaran rokok ilegal.

"Pengendalian tembakau melalui kebijakan fiskal sudah memberikan kontribusi signifikan kepada negara, mencapai Rp213 triliun," jelasnya.

Hal tersebut menunjukkan industri tembakau menjadi sumber pendapatan penting bagi APBN dan kebijakan yang mengancam pendapatan tersebut perlu dievaluasi dengan hati-hati.

Kontribusi industri tembakau terhadap perekonomian juga tidak bisa dipandang sebelah mata. "Pada tahun 2020, kontribusi kami mencapai 10 persen terhadap APBN, namun di tahun 2023 menurun menjadi 7 persen. Ini cukup signifikan," ungkapnya.

Ia juga menekankan pentingnya melibatkan semua pemangku kepentingan dalam diskusi kebijakan. Pihaknya mengharapkan RPMK dapat didiskusikan ulang dengan partisipasi semua pihak.

Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Perusahaan Indonesia (Gappri) Henry Najoan mengungkapkan keprihatinan industri tembakau terkait peraturan yang akan mengatur desain dan kemasan rokok dalam RPMK maupun PP 28/2024.

Ia menjelaskan industri kretek telah memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional, mulai dari petani tembakau hingga pengecer.

"Tetapi situasi industri semakin sulit sejak kenaikan tarif cukai dari 2020 hingga 2024, yang ditambah dengan dampak pandemi yang melemahkan daya beli konsumen," ujar Najoan.

Meskipun mengapresiasi upaya Kemenperin untuk mencari solusi, ia mengkritik ketidakadilan dalam penerapan kebijakan baru tersebut.

"PP 28/2024, yang mengatur desain dan tulisan pada kemasan rokok terlalu ketat dan merugikan. RPMK yang muncul mendadak ini sangat represif, dengan desain seragam yang menggunakan warna-warna yang tidak menarik," katanya.

Ia juga menyoroti beberapa pasal yang melarang penjualan rokok dalam jarak 200 meter dari sekolah serta pembatasan iklan, yang dinilai sebagai upaya menciptakan stigma negatif terhadap industri kretek.

Untuk itu, ia mengharapkan agar PP 28/2024 dan RPMK dapat ditinjau ulang dengan melibatkan semua pemangku kepentingan agar kebijakan yang dihasilkan lebih adil dan berkelanjutan bagi industri dan masyarakat.

Baca juga: Perlu penelitian lebih lanjut soal wacana aturan kemasan rokok polos
Baca juga: Kemasan rokok polos berpotensi ancam pedagang ritel-petani tembakau
Baca juga: Industri tembakau alternatif pertanyakan aturan kemasan polos

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024