Meski kualitas permainan Christine yang masih tangguh dan diandalkan oleh Jawa Timur untuk memperkuat tim putri, dia tidak memungkiri bahwa usia telah menghisap staminanya.
Apa lagi, Christine harus melakoni tiga pertandingan secara maraton di hari yang sama, sebelum bertanding di babak final.
Alasan yang masuk akal ketika melihat Christine bermain lebih taktis dengan penempatan posisi bola, dan jarang melakukan smes di babak final.
Sedangkan Rina, yang sedang dalam masa puncak seorang atlet di usianya yang ke-25, bermain lebih cepat dengan sejumlah smes keras yang tak mampu dikembalikan oleh Christine.
Tetapi, dengan statusnya sebagai pemain tenis meja paling senior di ajang PON 2024, raihan dua perak dan satu perunggu dalam empat nomor pertandingan yang diikutinya bukanlah hal yang buruk.
Satu perak lainnya didapat Christine dalam nomor beregu putri, di mana dia berdiri dalam satu podium bersama anak sulungnya, Cindy. Sedangkan satu perunggu diraih dari nomor ganda campuran, dengan pasangan petenis meja senior lainnya Ficky Supit Santoso.
Dua perak dan satu perunggu PON dalam usai 42 tahun. Lumayan.
Suatu perkara yang bisa menjadi pertanyaan lanjutan. Mana anak mudanya?
Pertanyaan yang sama dalam benak Christine ketika dirinya menerima panggilan untuk memperkuat Jawa Timur pada PON Aceh-Sumut.
“Seneng. Ada sedih juga,” Christine mengingat-ingat ketika diminta bertanding di PON.
Dia tidak memungkiri kegembiraan ketika masih dipercaya untuk kembali memperkuat Jawa Timur di Jawa Timur untuk kelima kalinya. Sedangkan sedihnya menurut Christine perihal regenerasi.
“Atlet-atlet muda harus bisa ngelebihin dari saya. Nggak harus saya sebenernya. Mereka harus lebih dari saya. Sedihnya itu.”
Akan tetapi, sedih Christine tidak berlarut. Sebagai seorang atlet senior, dia melihat ada potensi dari para petenis meja Indonesia yang berkompetisi pada PON Aceh-Sumatera Utara 2024.
Buktinya, Christine pun dapat dikalahkan dua kali, di babak final beregu putri dan tunggal putri. Yang kebetulan lawannya di kedua final adalah lawan yang sama berasal dari Jakarta.
Christine mengakui permainan Rina yang mengalahkannya 4-1 di tunggal putri sangat bagus. Dia juga mengakui kemampuan Desi Ramadanti dari Jakarta yang mengalahkannya 3-2 di final beregu putri.
“Sudah ada perlawanan. Bagus lah. Jadi ada harapan lagi.”
Atlet-atlet muda tenis meja itu termasuk anaknya sendiri, Cindy Marcella Putri. Yang menurutnya juga sudah mulai berkembang dan menyulitkan lawan-lawannya.
Harapan Christine terhadap Cindy, adalah harapan yang sama dari atlet tenis meja senior kepada petenis meja muda lainnya. Yaitu bisa mengharumkan nama Indonesia lebih baik di masa depan.
Christine telah berkompetisi di SEA Games sejak 1999 hingga 2011. Dalam rentang waktu tersebut, dia telah mengalungi 11 medali di Asia Tenggara, yang di antaranya 2 perak dan 9 perunggu.
Terakhir kali Christine mengalungi emas di ajang PON adalah delapan tahun lalu. Christine meraih emas tunggal putri pada PON XIX Jawa Barat 2016, yang saat itu usianya 34 tahun.
Christine sekali lagi memastikan dirinya tidak akan mengikuti PON XXII Nusa Tenggara 2028. Namun Christine juga belum mau menggantung bet. Dia masih ingin berkiprah di kompetisi tenis meja lainnya, seperti kejuaraan tenis meja terbuka.
“Kalau semangat sih masih 20 tahun ya,” kata Christine tertawa lepas.
Baca juga: Tenis Meja - Christine-Cindy pasangan ganda putri ibu-anak di PON XXI
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2024