Medan (ANTARA) - "Semua demi Indonesia, kita adalah saudara". Kalimat ini terucap dari mulut pelari maraton putri DKI Jakarta, Odekta Elvinas Naibaho.
Odekta mengomentari peristiwa unik pada lomba maraton PON Aceh-Sumatera Utara 2024 ketika lima dari enam medali dari nomor ini dikalungkan kepada atlet-atlet berdarah batak dari provinsi berbeda.
Maraton menutup kompetisi atletik PON 2024, Kamis kemarin. Odekta sendiri mengakhiri lomba itu dengan medali emas maraton putri di tanah leluhurnya sendiri di Sumatera Utara.
Empat atlet berdarah batak lainnya yang memperoleh medali maraton PON 2024 adalah Pretty Sihite, Rikki Martin Simbolon, Daniel Simanjuntak serta Betmen Manurung. Keempatnya mewakili Sumatera Utara dan Jawa Barat.
"Karena apa pun daerah yang dibela, tetaplah untuk Indonesia. Kita semua berada di sini tetap satu, walau kontingen yang dibela berbeda-beda," kata Odekta kepada Juraidi dari ANTARA.
Kalimat sederhana tapi maknanya dalam sekali.
Tapi memang, olahragawan selalu begitu, tak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Mereka tak peduli dari mana mereka berasal. Mereka tak tertarik memasalahkan apa fisik, etnis, kultur, atau latar belakang atlet lain.
Mereka cuma tahu bahwa arena olahraga adalah tempat yang tidak pernah memisahkan dan membeda-bedakan manusia satu dari lainnya.
Odekta dan semua atlet di seluruh dunia memperlakukan olahraga sebagai tempat untuk mempersaudarakan manusia, seperti orang-orang Yunani kuno melakukannya sejak ribuan tahun silam, sampai Baron Pierre de Coubertien terinspirasi membentuk gerakan Olimpiade seperti dikenal hingga kini.
Olahraga tak mengkotak-kotakkan manusia ke dalam warna kulit, asal suku, etnis, agama, bahasa, budaya, keturunan aulia, dan seterusnya.
Olahraga justru sejalan dengan konsep luhur negara bangsa atau nation-state yang salah satunya berpijak pada pandangan mengenai sekelompok manusia yang berbagi nilai yang sama.
Tapi olahraga, terutama saat ini, tidak kaku dibatasi oleh garis wilayah seperti dikenal dalam negara bangsa.
Sebaliknya, olahraga lebih mengartikulasikan nilai yang sama itu pada perjuangan, kerja keras, komitmen, dedikasi, dan prestasi.
Tak mau eksklusif
Semua itu dibungkus dengan sikap yang menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, dan pengakuan kepada yang lebih baik atau keunggulan yang dimiliki yang lain. Inilah nilai-nilai khas nan mulia dari olahraga. Inilah sportivitas itu.
Dengan nilai-nilai itu pula, olahraga dan olahragawan menginspirasi manusia untuk bertindak dan bergerak, termasuk melawan ketidakadilan dan diskriminasi, seperti Jesse Owens dalam Olimpiade Berlin 1936 ketika mendobrak rasisme Adolf Hitler dan Nazi yang meninggi rendahkan manusia atas dasar etnis dan keturunan.
Karena sifat-sifatnya yang menomorsatukan prestasi dan rekam jejak serta komitmen dan dedikasinya dalam mencapai level tertinggi, olahraga tak pernah mengeksklusifkan diri untuk sekelompok manusia atau masyarakat.
Sebaliknya, olahraga sangatlah inklusif dan terbuka untuk semua orang.
Jangan heran, karena sebab-sebab itu, olahraga tak pernah segan melibatkan dan membuka peran kepada orang-orang yang berbeda bahasa, budaya, agama, dan latar belakang-latar belakang berbeda lainnya.
Itu tercermin di mana-mana, dari turnamen ke turnamen, dari kompetisi ke kompetisi, termasuk PON 2024 ketika atlet-atlet lintas-suku seperti Odekta Elvinas Naibaho membela daerah yang bukan tempat asal sukunya.
Fenomena itu sudah terjadi sejak lama, dari PON ke PON. Mungkin ada faktor finansial di balik itu, tapi amatlah wajar.
Odekta, Pretty Sihite, Rikki Martin Simbolon, Daniel Simanjuntak, dan Betmen Manurung, dalam maraton PON 2024 hanya satu dari sejuta contoh mengenai cairnya hubungan kemanusiaan karena olahraga, terlebih orang-orang Nusantara sejak dulu kala dikarunia sifat-sifat yang meninggikan toleransi, inklusifitas, dan terbuka kepada siapa pun.
Orang-orang seperti Odekta bangga karena bisa menunjukkan semua orang di Indonesia merasa menjadi masyarakat yang satu, yang bebas pergi dan tinggal serta bersetia di daerah mana pun, kecuali Indonesia yang tak ingin mereka duakan.
Seharusnya kaca mata seperti ini dipakai untuk melihat beberapa fenomena belakangan tahun ini di kancah olahraga nasional, khususnya sepak bola, tatkala PSSI intensif merekrut pemain-pemain berkualitas yang awalnya bukan warga Indonesia, tapi memiliki darah Indonesia dan sedia membela Merah Putih seperti mereka mempertaruhkan dirinya sendiri.
Memanusiakan manusia
Memang pemihakan kepada lokalitas itu wajib. Tetapi itu tak boleh meniadakan hasil bagus dari naturalisasi.
Yang juga sering terjadi, atlet dan olahraga malah tak menjadi hirauan dari kritik-kritik itu, melainkan otoritas di balik atlet dan olahraga.
Tak heran, jarang sekali yang mengkritik proses, kualitas dan hasil di lapangan. Padahal kritik inilah yang lebih diperlukan oleh olahraga dan atlet.
Lagi pula, bukan cuma Indonesia yang mengambil jalan naturalisasi pemain. Negara-negara yang bolak balik menjuarai turnamen-turnamen besar sepak bola di berbagai level, mulai Jerman, Inggris, Spanyol, Jepang, sampai Maroko dan Pantai Gading, juga mengadopsi naturalisasi.
Justru, dalam konteks Indonesia, program naturalisasi menegaskan kembali nilai asli masyarakat Nusantara yang inklusif dan terbuka kepada semua orang yang berkomitmen membangun bersama.
Yang juga tak boleh dilupakan, olahraga memuat konten persaudaraan dan kebersamaan, yang juga konten asli budaya Nusantara.
Olahragawan memang selalu bersaing di lapangan, tapi persaingan itu tak pernah berakhir dengan permusuhan abadi seperti acap terjadi ketika orang berbeda pilihan politik.
Ya di lapangan, atlet-atlet mungkin adu mulut, saling sikut atau bahkan baku hantam, tapi itu selalu berakhir dengan maaf, menyelamati, saling rangkul, bahkan berbalas memberikan sanjung untuk kelebihan masing-masing.
Mereka boleh bersaing keras selama bertahun-tahun, dari turnamen ke turnamen, dari lapangan ke lapangan, tapi mereka bisa bersahabat begitu dekat bagai bersaudara satu sama lain.
Lihatlah persahabatan antara para atlet bulutangkis Indonesia, dengan atlet negara-negara lain yang menjadi lawan sengit mereka di berbagai arena. Atau lihat pula persahabatan antara Roger Federer dengan Rafael Nadal, antara Larry Bird dengan Magic Johnson, antara Frank Rijkaard dengan Rudi Voller, dan banyak lagi.
Mereka menunjukkan bahwa dalam olahraga tak pernah ada dendam kesumat, tak pernah ada kebencian abadi, karena dalam olahraga manusia benar-benar dimanusiakan, bukan dianggap setan yang selalu buruk atau malaikat yang selalu baik.
Copyright © ANTARA 2024