"Indonesia butuh lebih banyak kemitraan, kami butuh lebih banyak dukungan, tapi pertanyaannya seperti apa? Kami mengharapkan yang berbeda, karena kami ingin jadi bagian pembangunan ekonomi dengan kualitas rendah karbon, jadi menggunakan standar yang berbeda," katanya di Beijing, Kamis.
JETP adalah komitmen pendanaan senilai 20 miliar dolar AS (sekitar Rp301 triliun) untuk program transisi energi di Indonesia yang disepakati saat sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada November 2022.
Pendanaan JETP terjalin antara Indonesia dengan negara-negara maju yang tergabung dalam International Partners Group (IPG), dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang dan beranggotakan Denmark, Inggris, Italia, Jerman, Kanada, Norway, Prancis dan Uni Eropa.
Komitmen tersebut bahkan bertambah mencapai 21,6 miliar dolar AS, dimana 11,6 miliar dolar AS bersumber dari dana publik negara-negara IPG, sedangkan 10 miliar dolar AS akan berasal dari bank-bank internasional yang bergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) working group.
Pada 21 November 2023, Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP memuat rencana proyek investasi yang dapat didanai JETP.
Terdapat lima fokus area yakni pembangunan transmisi, pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, akselerasi energi terbarukan yang dapat dikontrol dan konstan (dispatchable), akselerasi energi terbarukan variabel (bergantung cuaca), serta peningkatan rantai pasok energi terbarukan.
"Menurut saya JETP ini berbeda karena termasuk kemitraan di sektor swasta, dan semua pihak didorong untuk ikut dalam aturan,"
katanya saat berbicara dalam forum yang diselenggarakan Bank Pembangunan Asia (ADB) itu.
Baca juga: ADB setujui pinjaman berbasis kebijakan dukung transisi energi RI
Namun pembiayaan JETP saat ini masih lebih sebagai club financing type belum sebagai syndicate financing type. Dengan begitu, masih banyak yang belum terorganisasi. "Kalau mau JETP 2.0 maka harus ada sinkronisasi antara pendanaan pemerintah dan swasta yang lebih efisien," jelas Edo.
Komposisi pendanaan JETP diketahui terdiri atas pendanaan non-konsesi (1,59 miliar dolar AS), pendanaan konsesi (6,94 miliar dolar AS), investasi ekuitas (384,5 juta dolar AS), hibah dan bantuan teknis (295,4 juta dolar AS), penjaminan (75 juta dolar AS), penjaminan multilateral (2 miliar dolar AS) serta bentuk lainnya (270,3 juta dolar AS). Artinya, porsi hibah hanya sekitar 300 juta dollar AS atau 1,4 persen dari total komitmen pendanaan JETP.
"Contoh baik berikutnya dari JETP adalah 'Energy Transition Mechanism' (ETM) yang diterapkan untuk memensiunkan PLTU Cirebon-1 di Jawa Barat, tanpa mekanisme ETM ini tidak akan ada penghentian operasi PLTU Cirebon-1 dan kami harap dapat melakukannya untuk PLTU lain," ungkap Edo.
Mekanisme Transisi Energi atau Energy Transition Mechanism (ETM) adalah program peningkatan pembangunan infrastruktur energi dan percepatan transisi energi menuju emisi nol bersih/ NZE (Net Zero Emission) dengan prinsip adil (just) dan terjangkau (affordable) di 2060 atau dipercepat.
ETM didanai melalui bentuk pembiayaan campuran (blended finance). Pembiayaan akan berasal dari berbagai sumber seperti lembaga pemerintah, bank pembangunan, bank komersial, dana perubahan iklim, investor ekuitas, perusahaan asuransi, serta filantrofis lokal dan internasional yang akan dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI).
Komitmen pendanaan ETM merupakan bagian dari komitmen pendanaan JETP yang diidentifikasi oleh pemberi dana (negara IPG) sehingga pendanaan ETM sebesar 2,559 miliar dolar AS dihitung dalam komitmen pendanaan JETP.
Dalam JETP, ETM adalah dengan pengakhiran dini operasi PLTU Cirebon-1, Jawa Barat, dengan kapasitas 660 megawatt (MW). Sinergi dilakukan antara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Cirebon Electric Power (CEP), Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Indonesia Investment Authority (INA).
Pendanaan JETP untuk pensiun dini PLTU Cirebon-1 terus dilakukan, termasuk dengan ADB. Jika terlaksana, operasi PLTU akan berakhir pada 2035 atau tujuh tahun lebih cepat dari seharusnya.
"Contoh ketiga dari JETP adalah kerja sama antarpemerintah yaitu ekspor listrik bersih rendah karbon dari Indonesia ke Singapura. Hal ini memutus lingkaran setan dimana minimnya pembangunan pembangkit listrik energi baru karena tidak ada permintaan untuk listrik dengan energi baru," ungkap Edo.
Indonesia telah menandantangani Memorandum of Understanding (MoU) Announcement on Cross Border Electricity Interconnection dengan Singapura pada acara Indonesia International Sustainability Forum 2024 pada 5 September 2024.
Nilai proyek ekspor listrik dari Indonesia ke Singapura sebesar 3,4 GW itu mencapai 20 miliar dollar AS (sekitar Rp301 triliun). Singapura akan melakukan impor 4 gigawatt listrik rendah karbon pada 2035, di mana 50 persen dari total yang dibutuhkan berasal dari Indonesia.
Kerja sama antara Indonesia dan Singapura, merupakan sebuah kerangka kerja untuk memfasilitasi proyek-proyek komersial guna mengembangkan energi karbon dan perdagangan listrik lintas batas serta interkoneksi kedua negara.
Energy Market Authority (EMA), otoritas pasar energi Singapura, saat ini sudah memberikan persetujuan bersyarat kepada 5 perusahaan untuk mengimpor listrik rendah karbon sebesar 2 GW dari Indonesia ke Singapura yang berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Kelima perusahaan itu sudah melakukan studi kelayakan, yang terdiri dari konsorsium Pacific Medco Solar Energy Medco Power with Consortium partners, PacificLight Power Pte Ltd (PLP) and Gallant Venture Ltd, Salim Group Company, Adaro Green, dan TBS Energi Utama.
"Saya pikir pemerintahan mendatang yang akan dilantik bulan depan akan melanjutkan semua komitmen ini," ungkap Edo.
Baca juga: ADB harap pemerintahan Prabowo lanjutkan kemitraan transisi energi
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Rahmad Nasution
Copyright © ANTARA 2024