Banda Aceh (ANTARA) - Ketika membicarakan Aceh, kebanyakan orang hanya mengenal lokasi wisata di Banda Aceh ataupun Sabang. Padahal, Aceh Besar yang merupakan kabupaten paling barat di Indonesia, memiliki harta karun sejarah yang ingatannya harus dirawat oleh generasi muda.
Jejak sejarah itu tidak sengaja ditemui ketika menyusuri perjalanan menuju Pelabuhan Malahayati yang berada di Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Dengan mobil, waktu perjalanan dari Banda Aceh menuju Lamreh ditempuh selama kurang lebih 1 jam.
Pada awalnya, perjalanan kali ini bertujuan untuk mencari Matahari terbenam di ufuk Aceh Besar. Memandangnya dari tebing sambil makan kacang rebus, tampaknya akan menjadi pengalaman menyenangkan untuk menghabiskan hari-hari terakhir di Provinsi Aceh.
Namun, mata ini kerap salah fokus dengan banyaknya cagar dan situs budaya yang ditemui selama perjalanan. Mulai dari benteng, museum, hingga makam pahlawan Laksamana Malahayati. Karena itu, rasanya tidak lengkap apabila kunjungan wisata ini tidak mendatangi secara langsung makam pahlawan yang namanya diabadikan menjadi nama banyak tempat itu. Ia adalah Malahayati.
Makam Laksamana Malahayati
Perjalanan menuju Makam Laksamana Malahayati dimulai dari Benteng Iskandar Muda. Di sana, masyarakat bisa melihat secara langsung benteng yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada abad ke-15 Masehi sebagai bentuk perlawanan Kesultanan Aceh terhadap pasukan Portugis. Kemudian, perjalanan dilanjutkan ke makam yang tak jauh dari benteng.
Sebelum menceritakan lebih lanjut tentang kunjungan ke makam Malahayati, tak lengkap bila belum menjelaskan kehebatan pahlawan itu.
Menurut buku “Malahayati Srikandi dari Aceh” karya Solichin alam yang diterbitkan pada tahun 1995, Keumala Hayati adalah nama asli Malahayati. Ia merupakan putri dari Laksamana Mahmud Syah. Apabila ditarik secara garis keturunan, dapat diketahui bahwa Malahayati memiliki kekerabatan dengan Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah, pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Malahayati merupakan lulusan Akademi Militer Baitul Maqdis. Di sana ia bertemu dengan suaminya yang bernama Laksamana Zainal Abidin. Pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riyat Syah Al-Mukammil, terjadi pertempuran laut antara armada Selat Malaka Aceh dengan armada Portugis. Suaminya yang ia cintai gugur dalam peristiwa itu.
Disulut rasa marah dan geram, Malahayati yang memiliki jabatan sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia dari Kerajaan Aceh Darussalam, kemudian mengajukan permohonan kepada Sultan Alaiddin untuk membentuk suatu armada yang prajurit-prajuritnya terdiri atas janda yang suaminya gugur dalam Pertempuran Teluk Haru. Permohonannya pun dikabulkan. Armada tersebut kemudian dinamakan Armada Inong Balee (Armada Wanita Janda) dan berpangkal di Teluk Lamreh Kreung Raya.
Armada Inong Balee pada awalnya hanya berisi 1.000 orang janda. Seiring dengan perkembangannya, isi armada tersebut tidak hanya janda, tetapi juga gadis-gadis muda yang gagah dan berani.
Salah satu kisah kehebatan Laksamana Malahayati dan pasukannya adalah ketika kedatangan kapal Belanda di Banda Aceh pada 21 Juni 1596 yang berada di bawah pimpinan Cornelis de Houtman.
Pada awalnya, kedatangan Belanda disambut dengan baik. Akan tetapi, Cornelis dan saudara kandungnya, Frederijk de Houtman, mengkhianati kepercayaan Sultan Alaiddin dengan memanipulasi dagang hingga menghasut masyarakat setempat.
Malahayati selaku Panglima Armada Inong Balee pun ditugaskan untuk melawan pengkhianatan yang dilakukan de Houtman bersaudara. Ia bersama pasukannya menyerbu kapal-kapal Belanda yang menyamar sebagai kapal dagang.
Dalam pertempuran satu lawan satu di atas geladak kapal-kapal Belanda, Cornelis de Houtman mati ditikam oleh Malahayati sendiri dengan rencongnya, sementara Frederijk ditawan dan dijebloskan ke dalam penjara sampai 2 tahun lamanya.
Kegigihan Malahayati tersebut pun menjadi kisah yang menginspirasi banyak orang.
Penulis pun memberikan penghormatan atas jasa-jasa Malahayati dengan memanjatkan doa sesaat sampai di makamnya.
Pengunjung yang datang disambut dengan papan bertuliskan “Selamat Datang di Makam Pahlawan Laksamana Keumala Hayati” tepat di dekat jalan raya utama untuk menandakan adanya makam yang berlokasi di tengah-tengah permukiman warga.
Untuk mencapai makam yang berada di atas bukit, pengunjung yang datang harus menjangkau jalan menanjak dengan sepeda motor atau mobil. Sesampai di bangunan makam pun, pengunjung harus kembali menaiki sekitar 70 anak tangga untuk ke tengah makam.
Suasana syahdu dan hening menemani kedatangan penulis saat tiba pada sore hari. Di Aceh, jam-jam tersebut adalah waktu untuk bersiap sebelum melaksanakan shalat maghrib. Pada saat itu, sama sekali tidak ada pengunjung yang berziarah ataupun sekadar berkunjung. Terlebih, saat itu adalah hari Senin yang merupakan hari kerja.
Bersama sopir yang menjadi pemandu, penulis menaiki anak tangga sambil membaca surah Al-Fatihah sebagai bentuk penghormatan kepada Malahayati.
Sesampainya di atas, penulis mendapati tiga nisan berwarna putih. Lantaran tak mengerti nisan itu milik siapa saja, penulis pun berjalan turun ke bukit dan bertemu Rajeski, juru kunci makam tersebut.
Ia menjelaskan nisan pertama adalah nisan Malahayati yang memiliki ciri khas bentuk sayap pada bagian badannya. Selain itu, terdapat tulisan kaligrafi Arab kuno pada bagian permukaannya. Kemudian, nisan di sampingnya adalah milik makam almarhum suami Malahayati, Laksamana Zainal Abidin. Terakhir, nisan yang berukuran paling kecil adalah milik anak Malahayati.
Sambil meletakkan peralatan kerjanya, Rajeski bercerita bahwa kakek buyutnya adalah orang pertama yang menemukan makam Malahayati di tanah miliknya sendiri.
“Makam ini dijaga secara turun-temurun. Pertama kali ditemukan oleh kakek buyut saya yang disebut sebagai Hassan Langkuta oleh warga sini, pada tahun 1959,” ucapnya.
Ia mengungkapkan bahwa tiga nisan masih itu mempertahankan batu aslinya. Untuk membuktikan keabsahan bahwa itu adalah benar-benar makam Malahayati, kakek buyutnya pada saat itu melaporkan penemuan makam tersebut kepada pihak terkait di Banda Aceh.
Kemudian, tulisan arab dan jenis batu yang digunakan pada nisan diteliti lebih lanjut untuk mengetahui apakah benar ini adalah makam Malahayati. Setelah terbukti benar, keluarganya diberikan tanggung jawab untuk merawatnya. Kakek buyutnya juga mewakafkan tanah tersebut untuk digunakan sebagai situs budaya.
Adapun Rajeski merupakan keturunan keempat dan menjadi juru kunci yang terakhir. Apabila Rajeski ingin berhenti meneruskan, maka kepercayaan itu bisa ia serahkan kepada anaknya, keponakan ataupun sepupunya.
Selama menjadi juru kunci, Rajeski merasakan berbagai suka dan duka. Ia mengungkapkan waktu teramai masyarakat berbondong-bondong berziarah di Makam Laksamana Malahayati adalah saat Hari Pahlawan yang diperingati pada 10 November dan hari ibu pada 22 Desember.
Soal kesulitan, ia mengaku bahwa pada tahun 2023, keluarganya tidak menerima anggaran perawatan makam. Barulah pada tahun 2024 ini keluarganya menerima anggaran dan mulai melakukan renovasi berbagai fasilitas, salah satunya memperbaiki sumur dengan menambah 10 cincin sehingga total menjadi 40 cincin.
Akan tetapi, renovasi itu tidak ada apa-apanya karena masih dihadapkan pada masalah yang lebih penting, yakni belum adanya air bersih yang mengalir di kamar kecil bangunan makam.
“Sumur sudah ditambah cincin, tapi tidak ada air. Karena sudah menambah cincin sumur, jadi habis anggaran untuk membeli sumur bor,” ucapnya sambil menunjukkan lokasi sumur di samping kamar kecil di dekat gerbang utama.
Kata dia, pengunjung banyak mengeluhkan tidak mengalirnya air pada kamar kecil. Selaku juru kunci, ia pun berharap bisa mendapatkan anggaran khusus untuk membeli alat bor sumur agar bisa memenuhi fasilitas dasar pengunjung.
Selebihnya, ia merasa sudah puas dengan honor yang ia terima setiap bulan sebagai juru kunci. Tanggung jawabnya itu, ia buktikan masih bekerja keras dengan senyum merekah untuk melanjutkan proses renovasi meski Matahari mulai terbenam dan malam akan tiba.
Mengambil hikmah perjumpaan
Sepulang dari mengunjungi makam, hati ini merasa hangat usai mendengar kisah sejarah Malahayati terpatri melalui situs-situs di Lamreh. Penulis juga terinspirasi mendengar kisah Rajeski yang melanjutkan tradisi sebagai juru kunci dengan penuh ketulusan.
Jika bermuhasabah lagi, tersadar bahwa sejarah dan kehidupan sekitar juga bisa menjadi pelajaran hidup berharga untuk diingat dan diimani dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis pun mengakhiri perjalanan untuk kembali ke Banda Aceh dengan penuh cerita. Pada kesempatan lain, penulis berharap bisa bertemu kembali dengan sosok-sosok yang menginspirasi lainnya.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024