Banda Aceh (ANTARA) - Bencana tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada 2004 silam sempat memukul perkembangan beberapa cabang olahraga di Tanah Rencong, termasuk anggar. Sejumlah atlet yang saat itu tengah disiapkan untuk berkompetisi di kejuaraan SEA Games turut menjadi korban tsunami.
Atlet-atlet pemula pun kehilangan role model atau sosok yang dapat dijadikan panutan. Pada saat itu, Aceh tidak memiliki pilihan selain menurunkan atlet-atlet yang belum siap mengikuti kejuaraan nasional dan internasional. Semenjak itu, prestasi anggar Aceh semakin menurun.
Sebelum tsunami, anggar Aceh masih bisa mencetak satu-dua keping emas pada ajang Pekan Olahraga Nasional (PON). Pascatsunami, atlet anggar dari bumi Serambi Mekah itu belum mampu mendulang emas kembali. Bahkan anggar Aceh tidak membawa pulang medali sama sekali pada PON XIX Jawa Barat 2016.
“Yang terakhir mendapatkan emas di PON sebelum tsunami, itu menjadi korban tsunami, meninggal dunia. Kemudian dari nomor floret putra juga yang dipersiapkan untuk SEA Games juga terkena dampak tsunami, meninggal dunia. Kemudian atlet floret putri juga meninggal karena korban tsunami,” tutur Atlet anggar Aceh Erwan Tona, berdasarkan cerita yang ia dapatkan dari para seniornya.
Erwan, yang mulai fokus menggeluti anggar pada 2009, sempat memutuskan untuk gantung sepatu karena tidak melihat potensi bagi dirinya untuk melanjutkan karier dalam cabang olahraga anggar. Namun pada 2018, ia diminta mengikuti pembinaan jangka panjang oleh Pengurus Provinsi (Pengprov) Ikatan Anggar Seluruh Indonesia (IKASI) Aceh.
Pada tahun 2018 itu, IKASI Aceh berupaya untuk membangkitkan kembali prestasi anggar. Erwan bersama kawan-kawannya menjalani pembinaan hingga akhirnya membuahkan semangat kembali saat pra-PON pada 2019.
Perhelatan PON XX Papua 2021 yang lalu menjadi titik balik bagi anggar Aceh meski emas yang dicetak hanya satu keping yang disumbang dari nomor floret beregu putra. Meski hanya satu emas, capaian itu sangat berarti bagi mereka. Di samping itu, anggar Aceh juga meraih satu perak dan dua perunggu yang mendorongnya menempati peringkat kelima secara nasional.
Prestasi tim anggar Aceh semakin melaju dengan gemilang pada PON XXI setelah berhasil mengumpulkan empat emas, tiga perak, dan dua perunggu. Capaian ini membuat mereka akhirnya bertengger pada peringkat pertama, mengalahkan tim Riau yang sempat merajai anggar PON XX.
Baca juga: Aceh keluar sebagai juara umum anggar PON XXI
Baca juga: Aceh raih emas keempat anggar dari sabel beregu putri
Halaman berikut: Tunas baru
Tunas baru
Ketua Umum IKASI Aceh M. Nasir Syamaun mengatakan, Aceh sebenarnya sejak lama memiliki tradisi atas prestasi cabang anggar. Ini ditunjukkan saat malam pembukaan PON XXI di mana para pembawa obor dan bendera PON didominasi oleh atlet-atlet anggar berprestasi. Sebut saja Alkindi, Erma Susana Madjaji, Murisnawati, Mardani, hingga Cut Risna Arista.
Alkindi merupakan atlet Aceh pertama yang berkesempatan mengikuti laga di Olimpiade pada 1988 yang diselenggarakan di Seoul, Korea Selatan. Saat itu, ia berkompetisi di nomor floret individu putra. Di ajang Olimpiade itu, Alkindi tidak sendiri sebagai perwakilan dari Indonesia. Ada pula Silvia Koeswandi asal Sulawesi Selatan yang bermain di nomor floret putri.
Sayangnya, kedua atlet itu tersisihkan pada babak penyisihan ronde pertama. Meski belum menorehkan prestasi gemilang di Olimpiade, bagi Indonesia, sudah tampil dalam ajang olahraga bergengsi di dunia itu saja dapat dikatakan cukup membanggakan.
Pasca Alkindi dan Silvia Koeswandi, Indonesia mengirimkan atlet anggar yang berlaga pada Olimpiade 1992 lewat nomor degen individu putra, yakni Handry Lenzun dan Lucas Zakaria. Namun, Indonesia masih belum berhasil meraih capaian terbaiknya. Sejak Olimpiade 1992 itu, hingga kini Indonesia belum kembali mengirimkan atlet anggarnya ke ajang Olimpiade.
Sebagai jebolan atlet Olimpiade, Alkindi menilai anggar Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara lainnya sehingga cukup menantang ketika berkompetisi dan bersaing pada ajang tingkat dunia tersebut.
Hal ini, menurut dia, lantaran dipicu oleh sistem pembinaan atlet anggar yang belum efektif. Belajar dari negara-negara lain, idealnya pembinaan atlet harus dimulai sejak sedini mungkin mulai dari sekolah dasar yang diiringi dengan kedisiplinan latihan.
“Saya kira anggar Indonesia untuk di Olimpiade masih jauh karena sistem pembinaannya. Atlet yang di Olimpiade itu, mereka sudah mulai latihan dari sekolah dasar, terus rutin latihannya,” kata dia.
Alkindi sendiri baru mulai serius menggeluti olahraga anggar saat memasuki usia sekolah menengah pertama dengan mengikuti kompetisi tingkat daerah. Pada 1981, ia tampil dalam PON untuk pertama kalinya meski hanya sebagai atlet cadangan. Melaju pada fase berikutnya, ia akhirnya menyabet emas dari floret individu dan beregu pada PON 1985.
Semenjak itu, Alkindi ditarik masuk pelatnas pada 1986 hingga 1993. Selain tampil di Olimpiade, Alkindi juga berkompetisi pada ajang Asian Games dan SEA Games dengan mencatatkan prestasi yang gemilang. Pada 1995, ia pensiun dari dunia atlet.
Melihat dinamika pertandingan anggar PON XXI yang lalu, Alkindi menilai secara umum performa para atlet dari seluruh kontingen masih agak lambat. Menurut dia, performa atlet anggar Indonesia saat berlaga di SEA Games atau kejuaraan Asia lainnyalah yang bisa dijadikan tolok ukur atau barometer yang sesungguhnya.
Meski begitu, Alkindi memandang bahwa potensi tunas-tunas baru untuk melanjutkan perjuangannya di ajang Olimpiade itu sebetulnya ada. Tinggal bagaimana komitmen pelatih dan pengurus dalam peningkatan sistem pembinaan hingga tekad kuat dan kedisiplinan yang dipupuk para atlet.
Adapun IKASI Aceh optimis bisa terus melahirkan atlet-atlet yang mumpuni dari generasi baru. Melihat ketekunan para atlet Aceh sejak dalam pemusatan latihan, IKASI Aceh berharap kemampuan mereka dapat terus meningkat sehingga menjadi andalan nasional untuk mewakili Indonesia di ajang internasional.
Satu langkah awal yang baik telah dilalui anggar Aceh dengan mencetak capaian terbesar sebagai juara umum. Erwan bersama dua atlet lainnya yang tergabung dalam floret beregu pada PON XX, yakni Zaidil Al Muqaddin dan Yudi Anggara Putra, sukses mempertahankan raihan emas pada nomor yang sama di ajang PON XXI.
Selain mereka, muncul nama-nama baru yang mewarnai prestasi anggar Aceh seperti Indra Agus Setiawan, Razaq Barry, Ody Tasmara, Teuku Muhammad Aghfa Tuwasza, Saidinanda Mulkan, Husnuel Yaqin Alfarish, hingga Rio Aditia.
Atlet anggar putri juga tak ketinggalan, antara lain Bifani Ivana Cordelea, Ummi Nadra, dan Elvanda Cantika Putri. Mereka menunjukkan permainan terbaiknya selama PON XXI. Sebagian di antara atlet anggar Aceh ini bahkan pernah mengikuti kejuaraan tingkat Asia.
Alkindi mengamini, PON XXI memang menjadi momentum kebangkitan kembali bagi anggar Aceh setelah sekian lama tidak mendulang emas. Namun, ia mengingatkan bahwa perjuangan untuk mempertahankan prestasi akan jauh lebih sulit ketimbang perjuangan untuk membangun prestasi dari nol.
Baca juga: Anggar - Atlet Aceh mulai bangkit kembali pasca-tsunami
Baca juga: Emas anggar pertama Jawa Barat dicetak lewat degen beregu putri
Halaman berikut: “Pekerjaan rumah” selanjutnya
“Pekerjaan rumah” selanjutnya
Ketika para atlet mengikuti training camp di luar negeri, Erwan menyadari bahwa anggar Indonesia, khususnya Aceh, bisa dikatakan masih sangat lemah lantaran lebih banyak menghabiskan waktu untuk berlatih, bukan untuk berkompetisi. Padahal, pengembangan kemampuan atlet yang lebih jauh dapat dipupuk lewat banyaknya kompetisi yang diikutkan.
“Dengan sering ikut kompetisi, kita bisa mengukur kemampuan kita, bisa mengevaluasi. Bahkan ketika kita gagal, apa yang harus diperbaiki. Itu kalau dari sisi atlet,” ujar Erwan.
Sayangnya, kompetisi cabang anggar tidak sering diselenggarakan di Indonesia baik tingkat daerah maupun nasional. Bahkan, kejuaraan tingkat nasional juga hanya diadakan satu hingga dua kali dalam setahun. Lamanya selisih waktu antara satu kompetisi dengan kompetisi lainnya justru membuat atlet menemukan kejenuhan selama proses latihan.
“Kejenuhan dalam proses latihan itu pasti naik-turun. Tapi kalau dua bulan sekali ada kejuaraan, entah daerah ataupun nasional, kita akan berpacu terus karena kita punya target. Seandainya hari ini gagal, kita punya peluang di kejuaraan yang akan datang,” tutur Erwan.
Selain masalah jarangnya pelaksanaan kompetisi, atlet juga membutuhkan pelatih dengan rancangan program dan metode latihan yang selalu diperbarui dalam proses pembinaan. Apalagi, atlet dituntut untuk cepat beradaptasi sejalan dengan ilmu dan pengetahuan yang terus berkembang. Apabila ekosistem anggar terbentuk dengan baik, maka niscaya prestasi akan lebih mudah untuk diraih.
Penyiapan regenerasi juga menjadi “pekerjaan rumah” selanjutnya. Ini mengingat setiap ajang kompetisi, termasuk setiap kali PON, terdapat kebijakan batasan usia atlet yang menjadi peserta.
Erwan sendiri, yang saat ini berusia 29 tahun, menyadari bahwa dirinya harus bisa ikut andil dalam penciptaan regenerasi sehingga keikutsertaan kontingen Aceh dalam ajang kompetisi bisa berkelanjutan.
“Atlet anggar di Aceh itu rata-rata usianya 25 tahun ke atas yang ikut PON XXI Aceh-Sumut. Ketika ada aturan yang seperti itu, maka kami tidak bisa ikut. Kami bisa saja membantu sebagai partner sparing atau naik sebagai pelatih, tapi kan tidak semua bisa menjadi pelatih. Artinya nanti kami hanya bisa berupaya support dari segi misalnya membantu di daerah untuk menciptakan atlet-atlet yang baru supaya regenerasi itu terus ada berlapis,” kata dia.
Selain lahir melalui ajang kompetisi demi kompetisi yang diperbanyak, penciptaan regenerasi harus dimulai dengan menjaring tunas baru yang potensial hingga ke daerah-daerah.
Saat ini, Aceh memang telah memiliki Hall Anggar sebagai tempat pusat latihan yang baru di Banda Aceh. Tetapi, yang menjadi tantangan, akses pusat latihan ini sulit dijangkau tunas-tunas baru yang tinggal di daerah-daerah pelosok dan perbatasan atau jauh dari perkotaan.
Untuk menjawab tantangan itu, mantan-mantan atlet yang memang memiliki panggilan jiwa untuk mengabdi sebagai pelatih di daerah perlu diberdayakan lebih lanjut oleh pemerintah. Pembinaan atlet harus merata hingga ke daerah-daerah sehingga atlet-atlet yang berkualitas dan berdaya saing tinggi diharapkan bisa bermunculan.
Upaya-upaya pembinaan yang lebih terstruktur tidak mustahil untuk diwujudkan. Oleh sebab itu, kerja sama yang kuat antara pelaku olahraga dan pemerintah dibutuhkan agar seluruh pihak sama-sama berjuang dan sama-sama bisa menikmati hasilnya di kemudian hari.
Ego sektoral juga harus dikesampingkan, terutama pemerintah dan pengurus pusat, sehingga cabang anggar Indonesia kelak memiliki daya tawar yang tinggi di dunia. Dengan begitu, ke depannya lahir atlet-atlet muda yang mampu meneruskan perjuangan Alkindi hingga ke ajang Olimpiade, bahkan mencetak sejarah dengan meraih medali di pesta olahraga terakbar di dunia tersebut.
Baca juga: Anggar-Aceh borong emas dan perak sekaligus dari sabel individu putri
Baca juga: Anggar - Dua atlet Aceh masuk semifinal nomor sabel individu putri
Copyright © ANTARA 2024