“Pekerjaan rumah” selanjutnya

Ketika para atlet mengikuti training camp di luar negeri, Erwan menyadari bahwa anggar Indonesia, khususnya Aceh, bisa dikatakan masih sangat lemah lantaran lebih banyak menghabiskan waktu untuk berlatih, bukan untuk berkompetisi. Padahal, pengembangan kemampuan atlet yang lebih jauh dapat dipupuk lewat banyaknya kompetisi yang diikutkan.

“Dengan sering ikut kompetisi, kita bisa mengukur kemampuan kita, bisa mengevaluasi. Bahkan ketika kita gagal, apa yang harus diperbaiki. Itu kalau dari sisi atlet,” ujar Erwan.

Sayangnya, kompetisi cabang anggar tidak sering diselenggarakan di Indonesia baik tingkat daerah maupun nasional. Bahkan, kejuaraan tingkat nasional juga hanya diadakan satu hingga dua kali dalam setahun. Lamanya selisih waktu antara satu kompetisi dengan kompetisi lainnya justru membuat atlet menemukan kejenuhan selama proses latihan.

“Kejenuhan dalam proses latihan itu pasti naik-turun. Tapi kalau dua bulan sekali ada kejuaraan, entah daerah ataupun nasional, kita akan berpacu terus karena kita punya target. Seandainya hari ini gagal, kita punya peluang di kejuaraan yang akan datang,” tutur Erwan.

Selain masalah jarangnya pelaksanaan kompetisi, atlet juga membutuhkan pelatih dengan rancangan program dan metode latihan yang selalu diperbarui dalam proses pembinaan. Apalagi, atlet dituntut untuk cepat beradaptasi sejalan dengan ilmu dan pengetahuan yang terus berkembang. Apabila ekosistem anggar terbentuk dengan baik, maka niscaya prestasi akan lebih mudah untuk diraih.

Penyiapan regenerasi juga menjadi “pekerjaan rumah” selanjutnya. Ini mengingat setiap ajang kompetisi, termasuk setiap kali PON, terdapat kebijakan batasan usia atlet yang menjadi peserta.

Erwan sendiri, yang saat ini berusia 29 tahun, menyadari bahwa dirinya harus bisa ikut andil dalam penciptaan regenerasi sehingga keikutsertaan kontingen Aceh dalam ajang kompetisi bisa berkelanjutan.

“Atlet anggar di Aceh itu rata-rata usianya 25 tahun ke atas yang ikut PON XXI Aceh-Sumut. Ketika ada aturan yang seperti itu, maka kami tidak bisa ikut. Kami bisa saja membantu sebagai partner sparing atau naik sebagai pelatih, tapi kan tidak semua bisa menjadi pelatih. Artinya nanti kami hanya bisa berupaya support dari segi misalnya membantu di daerah untuk menciptakan atlet-atlet yang baru supaya regenerasi itu terus ada berlapis,” kata dia.

Selain lahir melalui ajang kompetisi demi kompetisi yang diperbanyak, penciptaan regenerasi harus dimulai dengan menjaring tunas baru yang potensial hingga ke daerah-daerah.

Saat ini, Aceh memang telah memiliki Hall Anggar sebagai tempat pusat latihan yang baru di Banda Aceh. Tetapi, yang menjadi tantangan, akses pusat latihan ini sulit dijangkau tunas-tunas baru yang tinggal di daerah-daerah pelosok dan perbatasan atau jauh dari perkotaan.

Untuk menjawab tantangan itu, mantan-mantan atlet yang memang memiliki panggilan jiwa untuk mengabdi sebagai pelatih di daerah perlu diberdayakan lebih lanjut oleh pemerintah. Pembinaan atlet harus merata hingga ke daerah-daerah sehingga atlet-atlet yang berkualitas dan berdaya saing tinggi diharapkan bisa bermunculan.

Upaya-upaya pembinaan yang lebih terstruktur tidak mustahil untuk diwujudkan. Oleh sebab itu, kerja sama yang kuat antara pelaku olahraga dan pemerintah dibutuhkan agar seluruh pihak sama-sama berjuang dan sama-sama bisa menikmati hasilnya di kemudian hari.

Ego sektoral juga harus dikesampingkan, terutama pemerintah dan pengurus pusat, sehingga cabang anggar Indonesia kelak memiliki daya tawar yang tinggi di dunia. Dengan begitu, ke depannya lahir atlet-atlet muda yang mampu meneruskan perjuangan Alkindi hingga ke ajang Olimpiade, bahkan mencetak sejarah dengan meraih medali di pesta olahraga terakbar di dunia tersebut.


Baca juga: Anggar-Aceh borong emas dan perak sekaligus dari sabel individu putri
Baca juga: Anggar - Dua atlet Aceh masuk semifinal nomor sabel individu putri


Copyright © ANTARA 2024