Menurut Sharif, Indonesia sebagai Negara kepulauan, terletak di sepanjang garis khatulistiwa pada "jantung" yang disebut Segitiga Karang. Karakteristik geografisnya menyebabkan iklim hangat di seluruh negeri dan telah membuat lingkungan laut dan pesisir Indonesia menjadi habitat yang cocok untuk pertumbuhan mangrove dan padang lamun. "Bahkan, Indonesia memiliki ekosistem mangrove 3,1 juta hektar atau 23 % dari mangrove dunia dan padang lamun terbesar di dunia, yaitu 30 juta hektar. Hal ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk mengurangi dampak perubahan iklim tidak hanya untuk ekosistem pesisir dan laut tetapi juga untuk lingkungan terestrial /daratan", ujar Sharif.
Sedangkan di area Coral Triangle, ekosistem ini mencakup 52% dari distribusi global. Dengan demikian, potensi ekosistem perlu dikelola, dimanfaatkan dan dipertahankan keberlanjutannya sehingga ekosistem ini diharapkan dapat mengurangi 25% emisi karbon secara global dan juga memberikan manfaat langsung pada masyarakat nelayan melalui kelestarian lingkungan sumberdaya ikan.
Sharif menjelaskan, analisis global yang pertama diterbitkan tentang karbon yang tersimpan di padang lamun melaporkan bahwa ekosistem lamun dapat menyimpan hingga 830 ton karbon per meter kubik per hektar, terutama di sedimen di bawah padang lamun. Demikian pula, ekosistem mangrove telah dikenal memiliki produktivitas yang tinggi dalam siklus karbon. Ekosistem ini dapat menyimpan sejumlah besar karbon dalam sedimen organik yang dalam, dan menyimpan lima kali lebih banyak karbon. Sebagaimana yang telah diamati pada iklim, jika dibandingkan kemampuan penyimpanan hutan hujan tropis. "Jumlah penyimpanan karbon yang tinggi ini menunjukkan bahwa ekosistem mangrove dapat memainkan peranan penting dalam mitigasi perubahan iklim. Kita dapat membayangkan berapa banyak karbon yang tersimpan dalam kedua ekosistem ini", ucap Sharif.
Dengan alasan di atas maka pada tahun 2010 dicanangkan program kerjasama karbon biru antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan United Nations Environment Programme (UNEP). Sejak itu, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) mulai melakukan penelitian karbon biru secara menyeluruh terkait peranan ekosistem pesisir dan laut dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Pemahaman ilmiah tentang peran ekosistem karbon biru ini sangat diperlukan untuk mendapatkan manfaat optimal dari upaya pengelolaan ekosistem pesisir dan laut Indonesia.
IBCS merupakan hasil komunikasi para pakar melalui Forum Blue Carbon Indonesia yang diselenggarakan dua tahun sekali sejak 2011. Symposium ini dibuka oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dan merupakan bagian acara World Coral Reef Conference 2014, yang diselenggarakan Balitbang KP bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara. Kehadiran para pakar dan peserta internasional diantaranya dari Australia, Jepang, Korea Selatan, Republik Rakyat Tiongkok, Thailand, Vietnam, Malaysia, Nigeria, Pakistan, Inggris, Mauritius, USA serta UNEP dan NGO menunjukkan perhatian serius dunia internasional mengenai isu karbon biru.
Indonesia sebagai negara kepulauan harus siap mengambil peran aktif dalam forum regional dan internasional untuk mempromosikan peran ekosistem pesisir dan laut dalam upaya mengurangi emisi karbon. Peran aktif ini dapat diwujudkan melalui pembentukan Blue Carbon Center sebagai pusat pengembangan kepakaran, teknologi dan ilmu pengetahuan mengenai karbon biru.
Untuk keterangan lebih lanjut silakan menghubungi Anang Noegroho, Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, selaku Bidang Media WCRC Kementerian Kelautan dan Perikanan
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2014