Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan mengatakan pada akhir 2024 akan dilakukan pengukuran Extended-spectrum Beta-Lactamase (ESBL) pada 56 rumah sakit sentinel guna mendapatkan data tentang resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) yang mewakili Indonesia.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan dr. Azhar Jaya mengungkapkan sejumlah kejadian resistensi antimikroba yang dilaporkan oleh rumah sakit sentinel. Data tersebut mencakup dua jenis bakteri yang kebal antibiotik, yakni Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae.
“Data AMR di Indonesia secara khusus didapatkan dari data yang dilaporkan oleh rumah sakit sentinel yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, di mana hasil pengukuran Extended-spectrum Beta-Lactamase (ESBL) tahun 2022 pada 20 rumah sakit sentinel site sebesar 68 persen,” ujar Azhar.
Dia menambahkan, pada 2023, rumah sakit sentinel site sebesar 70,75 persen dari target ESBL tahun 2024 sebesar 52 persen. Menurutnya, angka ini menunjukkan adanya peningkatan resistensi antimikroba pada bakteri jenis Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae.
Baca juga: Kemenko: Pengendalian resistensi antimikroba tunjukkan hasil positif
Baca juga: Kemenkes-WHO luncurkan strategi nasional cegah kematian akibat AMR
“Agar data ini dapat mewakili Indonesia, maka untuk pengukuran ESBL, pada akhir tahun 2024 akan dilakukan pengukuran pada 56 rumah sakit sentinel yang tersebar di wilayah Indonesia barat, tengah dan timur serta meliputi rumah sakit milik pemerintah, pemerintah daerah dan swasta,” Azhar menambahkan.
Mengutip data WHO Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS) yang diperbarui pada 2022, dia menyebutkan bahwa di Indonesia, resistensi antimikroba pada kedua jenis bakteri tersebut terdeteksi melalui pemeriksaan spesimen darah dan urine pasien yang terinfeksi AMR.
Menurutnya, kedua bakteri ini dapat menyerang seluruh sistem organ dalam tubuh manusia dan menyebabkan kematian. Dia menilai, penggunaan antibiotik yang tidak bijak menyebabkan munculnya bakteri yang kebal terhadap antibiotik.
Resistensi antimikroba, dia menuturkan, berdampak pada semakin sulitnya pengobatan dan perawatan pasien.
Oleh karena itu, dia mengimbau publik untuk bijak dalam mengonsumsi antibiotik, guna mencegah terjadinya risiko infeksi AMR.
Dari laporan rumah sakit yang diterima Kemenkes, katanya, penanganan pasien dengan infeksi resistensi antimikroba membutuhkan upaya yang besar. Sebab, bakteri yang kebal terhadap antibiotik memengaruhi perawatan pasien.
“Yang pertama adalah pilihan obat terbatas. Obat yang efektif untuk pasien AMR mungkin tidak tersedia atau mahal dan patogen bisa menjadi resisten terhadap antibiotik yang ada,” katanya.
Kedua, katanya, penegakan diagnosis menjadi lambat, karena dibutuhkan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan dalam menegakkan diagnosis pasien infeksi lama, di mana untuk pemeriksaan tersebut memerlukan waktu sehingga memperlambat perawatan yang tepat. Oleh karena itu, katanya, dibutuhkan komitmen pimpinan rumah sakit untuk optimalisasi fungsi laboratorium.
Faktor ketiga adalah dengan efek samping. Menurutnya, pengobatan resistensi antimikroba sering kali memerlukan antibiotik dengan efek samping yang berat atau risiko toksisitas.
Keempat, penyebaran infeksi AMR. Infeksi resistensi antimikroba dapat menyebar cepat, terutama di lingkungan rumah sakit, sehingga memerlukan langkah-langkah pengendalian infeksi yang ketat. Kelima, katanya, biaya tinggi,
Karena perawatan AMR membutuhkan waktu yang lama, sehingga pengobatan AMR menjadi sangat mahal, produktivitas pasien dan keluarga penunggu menurun, serta membebani pasien dan jaminan kesehatan.*
Baca juga: Wamenkes: GeMa CerMat langkah vital guna cegah resistensi antimikroba
Baca juga: BRIN susun peta jalan riset resistensi antimikroba
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2024