Oleh Roike Sinaga Jakarta (ANTARA News) - "Dunia ada di genggaman anda. Cukup satu tombol, informasi apa pun dapat anda akses. Hanya dengan jempol anda bisa kendalikan bisnis, kapan dan di mana saja?" Jargon-jargon pariwara seperti ini sudah barang tentu menjadi salah satu strategi pemasar suatu produk terutama terkait teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Betapa tidak, kesadaran masyarakat akan pentingnya teknologi informasi terus meningkat, dan mendorong fungsi jasa telekomunikasi berubah menjadi sarana untuk mendapatkan informasi. Harus diakui industri telekomunikasi merupakan sebuah industri yang besar dan tumbuh sangat dinamis. Sektor telekomunikasi telah menjadi salah satu kontributor pendapatan ekonomi di suatu negara, bahkan menjadi salah satu tolok ukur maju tidaknya ekonomi suatu wilayah. Bentuk-bentuk informasi yang disuguhkan dari hari ke hari makin beragam, mulai dari informasi bisnis, pendidikan, komersial, hingga hiburan. Sejumlah kegiatan sehari-hari yang biasa dilakukan secara konvensional dengan tatap muka, saat ini mulai beralih melalui jasa telekomunikasi, seperti transaksi bisnis, proses pengajaran jarak jauh, belanja jarak jauh, dan beberapa proses perkantoran. Dengan teknologi telekomunikasi yang terus berkembang, terbukti telah memberikan nilai tambah yang begitu besar bagi perusahaan, dalam bentuk peningkatan efisiensi dan tentunya memberi keuntungan yang semakin besar. Menurut catatan Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), belanja barang modal (capital expenditure) seluruh operator seluler pada 2006 mencapai sekitar 2 miliar dolar AS, naik dari sekitar 1,8 miliar dolar AS pada 2005. ATSI juga mencatat, jika pada tahun 2005 pendapatan operator di luar penjualan ponsel mencapai sekitar Rp50 triliun, maka pada tahun 2010 akan tumbuh lebih tinggi mencapai Rp140 triliun. Sedangkan dari sisi penjualan handset, dalam beberapa tahun ke depan diproyeksikan mencapai sekitar 15 juta unit per tahun. Proyeksi-proyeksi seperti ini tentu tidak muncul begitu saja, sehingga industri telekomunikasi bisa dianggap sebagai the golden industry karena tidak ada industri lain saat ini yang menyamai tingkat pertumbuhannya. Pengamat telekomunikasi dari Center for Indonesia Telecommunications (CITRUS), Asmiaty Rasyid mengatakan, setiap pertumbuhan satu persen industri telekomunikasi akan mampu mendorong pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) satu negara sekitar 2 persen. Sebut saja di Indonesia, menurut Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI) pada 2003 jumlah pelanggan telepon seluler mencapai sekitar jika 14,69 juta nomor, maka pada 2006 diperkirakan mencapai 54 juta nomor, sedangkan pada 2007 diproyeksikan mencapai 60 juta nomor. Sebaliknya, penetrasi layanan telepon tetap (fixed line) masih berkutat pada angka sekitar 9,8 juta satuan sambungan telepon (sst), atau 4,5 persen dari total penduduk yang mencapai 228 juta. Demikian halnya dengan teknologi, jika pada 1992 teknologi seluler baru sebatas pada Advanced Mobile Phone Systems (AMPS), maka pada 2006 teknologi telah mengadopsi layanan seluler generasi ke tiga (3G) kategori Global System for Mobile telecommunication (GSM). Riset dan Pengembangan Meningkatkan dan mengefektifkan fungsi riset dan pengembangan merupakan salah satu kunci untuk mengatasi ketertinggalan Indonesia dalam industri teknologi telekomunikasi. Salah satunya adalah menjadikan Indonesia sebagai pusat riset dan pengembangan semua produk telekomunikasi. Hal ini pula yang memberi dampak pada rantai nilai industrinya, misalnya di pasar terminal telepon genggam (ponsel). Terkait dengan besarnya pasar telekomunikasi di dalam negeri, Anggota DPR-RI Komisi I Effendi Choiri mengatakan, sudah saatnya pemerintah meminta produsen ponsel agar mengalokasikan pabriknya di Indonesia. "Pemerintah harus berani mengultimatum agar mereka (vendor) juga mendirikan riset dan pengembangan produknya di Indonesia," kata Effendi. Porsi anggaran riset dan pengembangan di industri telekomunikasi, informasi dan elektronika masih sangat rendah apabila dibanding dengan negara maju yang menguasai teknologi saat ini. Dosen Sekolah Tinggi Telkom Bandung (STTB) Miftadi Sudjai, mengatakan setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi pemain di industri telekomunikasi yaitu, liberalisasi, privatisasi dan kompetensi. "Kompetisi sesungguhnya akan memicu penurunan harga pada tingkat di mana sebagian besar pelaku dapat meraih keuntungan," katanya. Era kompetisi Saat ini setidaknya terdapat delapan operator telekomunikasi di tanah air, yang setiap saat berlomba memberikan layanan yang terbaik bagi konsumen. Tentunya peluang dan tantangan yang dihadapi juga semakin berat terutama di era kompetisi sektor telekomunikasi yang memang butuh kepiawaian operator untuk memenangkan persaingan. Pada era konvergensi jaringan dan layanan mendatang, setidaknya banyak langkah yang harus ditempuh operator, mulai dari komitmen melakukan perubahan sesuai dengan perkembangan teknologi, kemitraan dengan penyedia terminal, konten, kanal distribusi, hingga tranformasi bisnis yang jelas, dengan menghilangkan segala bentuk hambatan dengan memprioritaskan produktivitas dalam kecepatan penyediaan layanan dan fitur baru. Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Faisal Basri mengatakan, langkah yang dilakukan operator itu diharapkan memberikan kapabilitas kecepatan penggelaran layanan tanpa melanggar regulasi. Harus diakui, pergeseran kebutuhan dan kemajuan teknologi jasa telekomunikasi telah menuntut adanya pembaharuan regulasi dalam bisnis jasa telekomunikasi dan informasi. Sedangkan yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah sebagai regulator adalah upaya terus membenahi regulasi yang saat ini cenderung pada tataran normatif, sehingga belum berhasil mendorong hadirnya persaingan yang sehat. Selain peraturan dan pengawasan tarif telekomunikasi, regulasi kerap membatasi ruang terak teknologi hasil inovasi untuk menjadi alternatif telekomunikasi rakyat yang murah. Pertimbangan pemerintah kerap lebih condong pada perlindungan bagi pelaku usaha tertentu, ketimbang perhitungan economic benefit cost analysis. Sedangkan tantangan lain yang diantisipasi pemerintah adalah dampak merger perusahaan di industri telekomunikasi yang menyangkut perubahan struktur industri dan implikasi lainnya. Sementara bagi operator, diferensiasi dapat dilakukan melalui inovasi layanan yang khusus menyasar per segmen pelanggan dan melalui kemitraan yang kokoh dengan penyedia konten. Dengan kata lain, operator harus terus mendorong penurunan biaya, meningkatkan loyalitas pelanggan, pendapatan, dan kelincahan manuver bisnis (business agility).(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006