Petenis Jawa Timur Janice Tjen melakukan tos kepada petenis Aceh Cylova Zuleyka usai menang pada babak perempat final tenis beregu putri PON XXI Aceh-Sumut 2024 di Lapangan Tenis Harapan Bangsa, Banda Aceh, Aceh, Kamis (12/9/2024). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

Asa petenis muda

Beberapa dari mereka, para petenis muda yang sedang bertumbuh, pertama kali menapakkan mimpi dan harapannya pada PON tahun ini. Sungguh suatu kebanggaan bagi mereka bisa membela tim provinsi mereka dalam perhelatan olahraga yang paling prestisius di Indonesia.

Di luasnya lapangan tenis di Stadion Harapan Bangsa, mereka beradu kemampuan demi bisa membawa nama provinsi yang dibela dalam sesi podium. Namun, soal bertanding adalah perkara lain. Adanya disparitas skill pun menjadi suatu permasalahan.

Salah satu tokoh terkenal dalam tenis tampak mengikuti jalannya pertandingan babak penyisihan nomor beregu putra dan putri. Sosok itu adalah Suharyadi, mantan pemain tenis yang pernah bermain di Olimpiade Seoul 1988 bersama pasangannya, Donald Wailan Walalangi. Ia juga merupakan suami dari Yayuk Basuki, petenis wanita Indonesia yang telah mencatatkan segudang prestasi.

Suharyadi yang saat ini menjadi pelatih pribadi untuk petenis kontingen Jawa Timur, Muhammad Rifqi Fitriadi, ikut mengamati jalannya pertandingan antara petenis muda dan senior yang berlangsung.

"Di sini, kelihatan siapa daerah-daerah mana yang serius membina, kelihatan juga daerah-daerah mana yang punya pemain bagus," kata dia sambil memandang lurus ke arah lapangan.

Menurutnya, sudah menjadi tugas masing-masing daerah untuk memberikan pembinaan jangka panjang, jangka menengah, jangka pendek, dan memiliki target. Pembinaan juga bukan hanya sekadar ketika mendekati tanggal-tanggal PON, tetapi juga harus terus dilakukan secara konsisten.

Apabila dibicarakan secara teori, pembinaan bukanlah hal yang sulit. Namun, ada satu hal kerap yang menjadi penghalang utama dalam setiap permasalahan di dunia tenis, yaitu dana.

Ia menjelaskan, tenis merupakan olahraga individual. Dimulainya karier bertenis seorang anak kebanyakan berawal dari pengaruh orang tuanya. Lantaran merupakan olahraga individual, dana yang dikeluarkan pun bergantung pada kemampuan masing-masing petenis, sehingga beberapa ada yang memilih berlatih ala kadarnya karena keterbatasan biaya.

Padahal, alangkah lebih baiknya apabila petenis muda yang berusia 15-19 tahun berada di bawah pelatihan pengurus daerah (pengda) atau klub tenis agar pengajaran bisa dibarengi dengan upaya untuk regenerasi petenis selanjutnya.

Dengan berada di bawah payung besar seperti pengprov, maka proses pelatihan dan regenerasi pemain bisa terjamin. Namun, lagi-lagi dihadapkan dengan masalah dana. Atlet harus banyak mengikuti turnamen agar dapat mengumpulkan poin dan dapat mempelajari menghadapi lawan baru.

Hanya saja, biaya yang dibutuhkan untuk bertanding di nasional maupun internasional untuk satu atlet tidaklah sedikit. Terlebih, dalam satu tahun, pemain harus mengikuti 10-12 turnamen.

Untuk biaya turnamen internasional, dibutuhkan dan 1.000 hingga 1.200 dolar AS per minggunya. Apabila dikalikan 12 turnamen, maka dana yang diperlukan sekitar Rp180 juta. Itu untuk satu atlet saja, belum untuk lima atlet.

Untuk dana yang sebesar itu, pengda dan klub seringkali tidak mampu membiayainya. Cara lain yang bisa ditempuh untuk bisa mendapatkan biaya, salah satunya dengan mencari sponsor pihak swasta.

Bermitra dengan pihak swasta juga bukan perkara mudah. Agar pihak swasta mau memberikan sponsornya, harus ada hubungan timbal balik antara petenis dan sponsor. Tenis harus terlebih dahulu menjadi komoditas olahraga yang banyak digemari dan ditonton oleh masyarakat Indonesia, sehingga pihak swasta bisa berdatangan dan bersedia memberikan sponsor.

Akan tetapi, jika melihat situasi di Indonesia, tenis masih menjadi olahraga yang belum umum di masyarakat. Selain itu, belum ada faktor menarik yang bisa membuat orang-orang bersedia untuk mengikuti tenis secara berkelanjutan.

Satu masalah lain selain dana adalah komitmen pelatihan pemain. Ery, panggilan akrab Suharyadi, menilai bahwa hal yang juga tak kalah penting harus diperhatikan adalah pelatihan petenis secara berjenjang.

Sambil memandangi para pemain muda yang sedang berlaga di lapangan tenis di Stadion Harapan Bangsa, ia berbicara bahwa ada banyak petenis junior yang memiliki masa depan cerah. Sayangnya, setelah lepas dari status petenis junior, pembinaan tidak dilakukan secara serius lagi, sehingga ada gap di antara keduanya.

Mengambil contoh dari PON, Ery berpendapat bahwa seharusnya bibit-bibit muda yang berlaga di PON, selepas ajang itu berakhir, bisa dilanjutkan kembali dengan pelatihan di daerah masing-masing.

Ilmu yang mereka dapatkan dari berhadapan dengan para pemain senior yang lebih berpengalaman, juga bisa diterapkan dalam ilmu yang diajarkan dalam pelatihan agar ajang olahraga nasional ini cuma bukan sekadar sebagai tempat bertanding, tetapi juga sebagai ajang menimba ilmu.

Apabila para petenis Indonesia mencatatkan prestasi, bukan tidak mungkin dana akan mengucur deras dari pihak-pihak swasta yang ingin mendukung prestasi para petenis. Untuk mewujudkan ini, tentu saja diperlukan sinergi para stakeholder.

"Problem itu bisa diatasi bersama-sama, mulai dari pemerintahnya, Pengurus Besar Tenis Persatuan Tenis Lapangan Indonesia (PB PELTI), dan daerahnya. Dengan berkolaborasi, mungkin masalah dana bisa diatasi. Tapi, itu kan butuh pemikiran, komitmen, dan disiplin yang bagus," ucapnya.

Baca juga: Tenis - Anjali Kirana ungkap sempat tergelincir saat bertanding
Baca juga: Aldila ingatkan rekan-rekannya perjuangan mereka di PON masih panjang

Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2024