ketiga instalasi yang dipamerkan menantang narasi dominan soal kolonial

Padang (ANTARA) - Tiga karya instalasi seni dari empat perupa Sumatera Barat dipamerkan pada ruang kedatangan penumpang pesawat di Bandara Internasional Minangkabau (BIM) untuk memperingati lima tahun penetapan Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) sebagai Warisan Dunia.

Kurator pameran, Mahatma Muhammad di Padang, Selasa mengatakan pameran bertajuk “Seri Karya Seni Instalasi untuk Memperingati 5 tahun Penetapan Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS) sebagai Warisan Dunia” itu akan berlangsung hingga Desember 2024.

Ia menyebut pameran itu juga merupakan rangkaian kegiatan Galanggang Arang 2024, yang merupakan program prioritas dari Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan (PPK), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek RI untuk memperkuat ekosistem WTBOS yang sudah ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia pada 6 Juli 2019.

“Peringatan lima tahun WTBOS merupakan arena konflik ingatan dan identitas yang terus berkembang, jadi tidak sekedar objek nostalgia. Karenanya ketiga instalasi yang dipamerkan menantang narasi dominan soal kolonial dan menawarkan perspektif baru tentang identitas dan masa depan budaya lokal,” ujarnya.

Baca juga: UNESCO tetapkan pertambangan Ombilin sebagai warisan dunia
Baca juga: Kemenparekraf susun pola perjalanan warisan tambang batu bara Ombilin

Instalasi yang dipamerkan diantaranya berjudul "Aset" karya Arif Rahman, dari komunitas Rumah Ada Seni (RAS).

Arif memilih visual kereta api mak itam yang pada badannya terpatri gambar pemain tambua tansa yang dibuat dari kolase paco-paco (kain perca) warna-warni. Pemilihan simbol ini menunjukkan betapa kompleksnya sejarah dan identitas lokal, sekaligus bentuk gugatan untuk memaknai warisan pada konteks yang lebih luas dan dinamis.

Kemudian ada "Pohon Hikayat" karya Romi Armon, pendiri dari Kato Lab Art. Ia mengolah bahan mix media untuk dibuat visualisasi pohon yang kira-kira setinggi dua meter dan pada dahannya terdapat lubang terowongan dan rel kereta api.

Melalui metafora pohon, Romi mengajak kita menyelami kisah-kisah yang terukir dalam lingkaran usia pohon, menggali makna sejarah dan mengkritik dampak kolonialisme serta isu lingkungan yang muncul akibat eksploitasi tambang.

Baca juga: Kemendikbudristek dukung pelestarian Warisan Tambang Batubara Ombilin
Baca juga: Pemerintah segera bentuk badan pengelola tambang batubara Ombilin

Karya ketiga berjudul “Manuskrip Emas Hitam” yang dikerjakan oleh seniman Nasrul Palapa, pemilik galeri 89 dan Erlangga dari komunitas seni Belanak. Instalasi ini menggunakan medium tidak konvensional seperti kulit kayu, besi, kain beludru yang dilapisi tinta emas dan objek tradisional seperti ganto dan balango.

Manuskrip tersebut menceritakan mulai dari penemuan batubara hingga pembangunan infrastruktur seperti sistem perkeretaapian dan pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) oleh Belanda untuk kepentingan eksploitasi. Seluruh pengetahuan itu berasal dari cerita masyarakat lokal.

Menurut Mahatma, manuskrip merujuk pada naskah-naskah hidup yang diceritakan masyarakat lokal tentang perlawanan, ketahanan, dan kreativitas mereka di tengah eksploitasi.

Sedangkan emas hitam merefleksikan batubara sebagai sumber daya alam yang membawa berkah sekaligus petaka, menyiratkan kontradiksi yang kompleks dalam sejarah pertambangan Ombilin.

Melalui pendekatan dekolonial dan etnografis, ketiga instalasi menempatkan pengalaman dan ingatan lokal di pusat narasi. Narasinya berisi kritik bagaimana warisan itu kini dirayakan sementara kenyataan pahit dari eksploitasi dan penindasan masa lalu nyaris terlupa.

WTBOS mungkin diakui dunia, tapi pengakuan itu tidak serta merta menghapus jejak kolonial yang ditinggalkannya. Jadi, instalasi ini menjadi peringatan darurat atas bahaya melupakan penderitaan yang membentuk sejarah masyarakat. Sekaligus jadi harapan untuk memperjuangkan masa depan yang lebih baik.

Pewarta: Miko Elfisha
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2024