Beheira, Mesir (ANTARA) - Nagaa Awni, yang terletak di Kegubernuran Beheira sekitar 200 km dari Kairo, dahulu merupakan desa dengan rumah-rumah yang terbuat dari batu bata lumpur dan jerami, serta bergantung pada bantuan dari luar untuk mendapatkan makanan dan selimut.

Kini, berkat upaya masyarakat setempat selama delapan tahun melalui berbagai proyek pembangunan, desa itu bertransformasi menjadi daerah yang mandiri. Salah satu proyek yang terkenal adalah inisiatif ulat sutra yang dirintis oleh Ragab Awad, seorang mantan nelayan berusia 40-an tahun.

Pada 2016, Awad menggagas ide untuk memanfaatkan kekuatan pertanian Nagaa Awni guna menanam pohon murbei untuk pakan ulat sutra, memproduksi sutra, dan membuat karpet.

"Kami tidak ingin menjadi beban bagi masyarakat. Kami ingin membangun komunitas kami dan menciptakan peluang karier bagi kaum muda setempat agar mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan," kata Awad. "Beri seseorang ikan dan Anda memberinya makan untuk sehari. Ajari dia cara memancing dan Anda memberinya makan untuk seumur hidup," tutur mantan nelayan itu.

Seorang pria memberi makan ulat sutra dengan daun pohon beri di ruang pengembangbiakan ulat sutra di desa Nagaa Awni di provinsi Beheira, Mesir, pada 7 September 2024. ANTARA/Xinhua/Ahmed Gomaa.

Awad segera membeli sekotak telur ulat sutra berisi 18.000 butir telur dan membangun sebuah pabrik di sebidang tanah milik keluarganya yang dikelilingi oleh pohon murbei. Pabrik itu kemudian dibagi menjadi beberapa ruangan untuk memelihara ulat sutra, mengurai kepompong menjadi benang, serta membuat karpet dan aksesori. Selama beberapa tahun, warga desa lainnya ikut berpartisipasi dalam proyek tersebut di berbagai tahapan. Menurut Awad, Nagaa Awni kini memiliki total 3.700 pohon murbei.

Awalnya, Awad sempat merugi selama dua tahun pertama proyek tersebut karena minim pengalaman. "Itu merupakan proses pembelajaran," ujarnya. Setelah menyaksikan video-video daring tentang cara para peternak China memberi makan dan membersihkan ulat sutra, keadaan pun mulai membaik. Kini, pabrik Awad mampu memproduksi hingga 720 kg sutra setiap tahun, yang secara signifikan meningkatkan penghasilannya.

Sejak Maret hingga Juli tahun ini, Awad memelihara 125.000 ekor ulat sutra dan menyumbangkan beberapa ratus ekor kepada para ibu rumah tangga setempat. Dia kemudian membeli kepompong dari para ibu rumah tangga itu dengan harga yang wajar, yang mendorong mereka mencari pekerjaan.

Seorang pria menunjukkan ulat sutra pada daun pohon beri di ruang pengembangbiakan ulat sutra di desa Nagaa Awni di provinsi Beheira, Mesir, pada 7 September 2024. ANTARA/Xinhua/Ahmed Gomaa.

Selama beberapa tahun, warga desa lainnya ikut berpartisipasi dalam proyek tersebut di berbagai tahapan. Menurut Awad, Nagaa Awni kini memiliki total 3.700 pohon murbei. "Merawat ulat sutra itu sederhana dan mudah, dan produksinya melimpah," ujar Ibrahim, seraya menambahkan bahwa dirinya puas dengan penghasilannya saat ini.

Kisah transformasi Nagaa Awni pun sampai ke telinga pemerintah Mesir, yang, di bawah Inisiatif Kehidupan Layak yang diluncurkan oleh Presiden Abdel Fattah al-Sisi pada Januari 2019 lalu, memberikan dukungan tambahan kepada desa tersebut dengan membangun jalan, sekolah, dan klinik, serta menambah saluran air, listrik, dan fasilitas pembuangan limbah.

Sambil menunjuk ke rumah-rumah modern yang dibangun dengan batu bata dan berplafon semen, Ismail Ibrahim (32) merasa bangga dengan perubahan positif yang terjadi di Nagaa Awni selama beberapa tahun ini.

"Kami hidup dalam kemiskinan ekstrem selama bertahun-tahun, dan sebelum ini sulit membeli cukup makanan atau membiayai pendidikan anak-anak saya," kata Ibrahim kepada Xinhua.

Seorang pria menunjukkan sutra di lokasi pengumpulan di desa Nagaa Awni di provinsi Beheira, Mesir, pada 7 September 2024. ANTARA/Xinhua/Ahmed Gomaa.

"Merawat ulat sutra itu sederhana dan mudah, dan produksinya melimpah," ujar Ibrahim, seraya menambahkan bahwa dirinya puas dengan penghasilannya saat ini

Farah Abdelmalik (19) tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena kondisi kehidupan keluarganya yang sulit. Namun, kini dirinya dapat menghasilkan hingga 1.500 pound Mesir (1 pound Mesir = Rp316) per bulan dengan melatih para pekerja di pabrik Awad merajut sutra.

"Melihat karpet sebagai produk akhir merupakan momen yang membahagiakan bagi saya," kata Abdelmalik kepada Xinhua sembari tersenyum. Dia menambahkan bahwa dirinya berharap suatu hari nanti produknya dapat dipamerkan dalam ajang-ajang pameran internasional.


Penerjemah: Xinhua
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2024