Petani dilarang ekspor ke luar negeri, tetapi di dalam negeri rotan mereka juga tidak terserap.

Pontianak (ANTARA) - Pelaku usaha rotan yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) di Kalimantan Barat (Kalbar) berharap keran ekspor rotan bisa dibuka kembali karena sejak 13 tahun lalu ditutup.

"Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 35 Tahun 2011 telah melarang seluruh ekspor rotan mentah dan setengah jadi ke luar negeri. Ini kita harap keran dibuka," ujar Ketua APRI Kalbar Rudyzar Zaidar Mochtar, di Pontianak, Selasa.

Ia mengatakan perlu ada solusi untuk aturan yang telah berlaku selama 13 tahun tersebut. Lebih-lebih sudah banyak industri pengolahan bahan baku di daerah yang berguguran.

Perkiraannya, saat ini industri pelaku bahan baku rotan hanya tersisa 10 persen dibandingkan dengan jumlah sebelum tahun 2011.

Kebutuhan rotan dalam negeri sangat kecil dibandingkan angka produksi daerah penghasil, terutama di sejumlah daerah, seperti Kalbar, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, dan lainnya. Menurutnya, Permendag 35/2011 sudah seharusnya direvisi.

"Petani dilarang ekspor ke luar negeri, tetapi di dalam negeri rotan mereka juga tidak terserap. Industri rotan dalam negeri tidak mampu maksimal. Terbukti nilai ekspor furnitur rotan juga tidak membaik," kata dia lagi.

Proteksi atau larangan ekspor bahan baku rotan ini tidak mendorong pertumbuhan industri mebel rotan yang berpusat di Pulau Jawa. Malahan banyak yang sudah beralih menggunakan rotan sintetis atau plastik.

“Selama 12 tahun berlakunya larangan, rotan yang tumbuh di hutan semakin banyak volumenya karena terus bertumbuh tanpa pernah dipanen. Kalaupun dipanen, jumlahnya terbatas. Nilai ekonomis rotan juga sudah tidak besar karena larangan ekspor," ujarnya lagi.

Rudyzar mengusulkan, ekspor rotan dari beberapa daerah yang hasilnya berlimpah dan tak diserap oleh industri Pulau Jawa, dapat dilonggarkan.

"Beberapa daerah itu seperti Pontianak, Medan, dan Palu. Mungkin bisa ada dispensasi untuk mengekspor, karena memang pasar dalam negerinya kurang," ujar dia.

Maksud dari aturan ini adalah untuk mendukung hilirisasi industri mebel dalam negeri. Menurutnya, Indonesia memiliki sekitar 30 jenis rotan. Sementara permintaan industri mebel dalam negeri, terutama di Jawa, sejauh ini hanya membutuhkan 3 jenis rotan saja.

"Hanya ada 3 atau 4 jenis rotan saja yang diminta oleh industri mebel kita, terutama rotan sega. Sementara puluhan jenis rotan lain tidak pernah dipesan. Tapi Permendag 35/2011 melarang ekspor semua jenis rotan. Ini perlu revisi," kata dia pula.

Ia berharap permendag itu dicabut, atau paling tidak direvisi atau dilonggarkan.

"Kalau memang industri dalam negeri butuhnya hanya tiga jenis rotan, maka seharusnya rotan jenis lainnya diizinkan untuk diekspor. Sudah sepatutnya ada evaluasi dari permendag ini," ujar dia lagi.

Ketua Umum DPP APRI Julius Hoesan mengatakan kegiatan ekspor ilegal harus dipandang sebagai akibat dari lesunya permintaan rotan dalam negeri yang sudah belasan tahun berlangsung.

"Jenis rotan yang diselundupkan pada umumnya adalah rotan jenis sega atau rotan kubu. Potensi produksi rotan sega di Pulau Kalimantan mencapai belasan ribu ton per bulan, sedangkan pemakaian oleh industri mebel kerajinan rotan di Pulau Jawa hanya beberapa ratus ton per bulan," kata dia pula.

Kelebihan stok yang tidak bisa diserap oleh industri dalam negeri ini lantas membuat para petani dan pengepul rotan frustrasi.

"Permendag 35/2011 yang melarang total ekspor rotan dari Indonesia mengakibatkan potensi rotan sega Kalimantan menjadi mubazir karena pasar dalam negeri yang sangat kecil," ujar dia lagi.
Baca juga: Bea Cukai gagalkan penyelundupan 100 ton rotan ilegal di Kalbar
Baca juga: Pengusaha Kalbar sambut baik kebijakan ekspor rotan diperbolehkan

Pewarta: Dedi
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024