Peunayong menjadi contoh hadirnya toleransi dan keterbukaan di tengah mayoritas masyarakat Muslim dan penerapan syariat Islam di Aceh

Banda Aceh (ANTARA) - Aceh, mungkin hal yang pertama terlintas di kepala sebagian besar orang apabila mendengar nama provinsi yang terletak di ujung barat Pulau Sumatra sekaligus Indonesia itu adalah hukum syariat islam, masyarakat eksklusif dan tertutup, hingga status wilayah istimewa.

Memang benar, Aceh memiliki status daerah istimewa karena provinsi ini menjadi satu-satunya wilayah di Indonesia yang menerapkan hukum syariat Islam bagi para pemeluknya. Pelaksanaan ajaran agama ini diterapkan pada semua aspek mulai dari kehidupan sosial, adat, hingga pemerintahan.

Hal ini diperkuat oleh Nota Kesepahaman yang ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus 2005 untuk menyelesaikan konflik antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selama tiga dekade yang menjamin otonomi luas serta penegakan syariat Islam di Tanah Rencong.

Akan tetapi, apakah Islam menjadi agama tunggal di Aceh? Faktanya, masyarakat Aceh juga menganut agama yang beragam, sama halnya seperti wilayah-wilayah lain di Indonesia.

Pada tahun 2023, jumlah pemeluk agama di Aceh lebih kurang sebanyak 6.071.930 orang terbagi dalam lima kepercayaan.

Angka tersebut terdiri atas pemeluk Islam sebanyak 6.006.608 jiwa, Kristen 52.091, Katolik 6.181, Buddha 6.863, dan Hindu sebanyak 187 orang.

Adapun jumlah rumah ibadah di seluruh Aceh saat ini yaitu masjid 4.137 unit, meunasah (balai desa) 6.516, mushala 4.355, gereja Katolik 20, gereja Kristen 187, vihara/kelenteng sembilan, dan pura satu unit.

Keberagaman masyarakat di Aceh tak lepas dari latar belakang sejarah kawasan tersebut sebagai titik strategis pada rute perdagangan laut Selat Malaka di masa lalu.

Posisi sebagai salah satu pusat perdagangan di Selat Malaka membuat Aceh menjadi titik pertemuan antara pedagang dari berbagai negeri seperti China, India, Timur Tengah, hingga Eropa yang pada turut memengaruhi penyebaran agama-agama tadi di sana.

Hal itu diamini oleh antropolog Aceh dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Reza Idria, yang menyebutkan bahwa wilayah Aceh sejak dulu selalu terbuka dengan orang luar, apa pun latar belakangnya.

Bahkan kejayaan dan kemakmuran Aceh pads masa lalu salah satunya bisa dicapai berkat keterbukaan dan menerima perbedaan.

"Aceh itu sudah membuktikan pernah menjadi daerah yang maju dan makmur dari perniagaan, itu karena apa? Karena membuka diri. Kenapa di Aceh dulu ada orang Arab, orang India, orang China, dan lain-lain? Karena posisi Aceh itu membuka diri, tidak melihat bahwa dirinya itu berbeda dari orang lain," kata Reza.

Hal itu bukan tanpa alasan karena menurut dia, masyarakat majemuk yang terbuka memiliki kesempatan untuk berkembang lebih besar. Masyarakat yang majemuk cenderung memiliki populasi dengan kemampuan yang berbeda-beda sehingga apabila mereka disatukan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah yang ditempatinya.


Konflik dan stigma masyarakat Aceh

Apabila dilihat dari kacamata sejarah, narasi yang melabeli warga Aceh sebagai masyarakat tertutup dan tidak menerima perbedaan sudah berkembang sejak penjajah Belanda menginjakkan kakinya di tanah Aceh untuk menaklukkan wilayah tersebut.

Konflik antara Belanda dan Kesultanan Aceh atau yang dikenal sebagai Perang Aceh dimulai pada tahun 1873. Perang berkobar selama beberapa dekade karena perlawanan sengit pejuang Aceh yang membuat Belanda kewalahan apabila hanya mengandalkan adu senjata.

Oleh karenanya, Belanda menerapkan beberapa strategi khusus untuk menundukkan perlawanan masyarakat Aceh, salah satunya dengan membangun stigma bahwa masyarakat Aceh tidak berbudaya, fanatik, tidak menerima orang di luar kelompoknya, dan tidak bisa diajak berdiplomasi.

Seiring berjalannya waktu, serdadu Belanda efektif hengkang di Indonesia pada tahun 1949. Meskipun Belanda pergi dari bumi Aceh, stigma yang melekat di masyarakatnya tetap ada, bahkan "diadopsi" oleh Pemerintah Pusat Indonesia kala itu sebagai justifikasi untuk menumpas Daarul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lewat pendekatan militer.

"Jadi tahun 1960-an, kemudian GAM muncul di tahun 1976, sepertinya satu-satunya pilihan yang dimiliki oleh Pemerintah RI pada waktu itu ya dengan mengirimkan serdadu ke Aceh. Padahal bisa saja banyak jalan lain," ujar Riza.


Peunayong, surga toleransi di Serambi Mekkah

Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, Aceh juga menjadi rumah bagi populasi bagi warga non-Muslim, baik itu dari etnis Tionghoa, Batak (Kristen), serta penganut agama lain.

Bahkan mereka bisa hidup damai dan tenteram di tengah masyarakat Muslim dan bisa saling menghargai satu sama lain. Salah satunya di Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, yang banyak dihuni masyarakat etnis Tionghoa.

Sejarah wilayah ini tak lepas dari hubungan dagang antara China dan Aceh pada masa lalu. Banyak pedagang dari China yang silih berganti datang ke Aceh, ada yang berdagang secara musiman dan ada pula yang permanen. Mereka tinggal di perkampungan China yang berlokasi di ujung kota dekat pelabuhan.

Mereka menurunkan barang-barangnya di pelabuhan sebelum didistribusikan. Tempat penurunan barang itu yang saat ini dikenal sebagai Peunayong. Pada masa kolonialisme Belanda, kawasan ini dirancang sebagai sebuah kampung pecinan yang peninggalannya masih ada hingga saat ini.

Sikap saling menghormati masyarakat lintas agama di Peunayong dapat dijumpai, misalnya, pada bulan Ramadan.

Khusus pada bulan Ramadhan, aktivitas di pasar di Peunayong itu memang tidak terbuka untuk umum, namun khusus bagi warga non-Muslim, baik itu dari etnis Tionghoa, Batak (Kristen), serta penganut agama lain. Itu menjadi salah satu bentuk upaya mereka menghargai penduduk Muslim yang sedang berpuasa.

Selama bulan Ramadhan, masyarakat Kota Banda Aceh dilarang memperjualbelikan makanan dan minuman terhitung sejak Imsak hingga pukul 16.30 WIB. Namun, khusus di Pecinan Peunayong, diizinkan karena ada kesepakatan lama.

Warga non-Muslim di sana tetap bisa berjualan dengan ketentuan tertentu, yakni hanya boleh dijual kepada sesama non-Muslim, dan dengan batas akhir (tutup) pukul 09.00 WIB.

Peunayong menjadi contoh hadirnya toleransi dan keterbukaan di tengah mayoritas masyarakat Muslim dan penerapan syariat Islam di Aceh.

Kedatangan ribuan atlet, ofisial, hingga para pewarta dari berbagai daerah dalam perhelatan PON XXI membuka mata bahwa Aceh beserta masyarakatnya sama halnya dengan warga dari daerah lain di Indonesia, yakni bersikap terbuka dan ramah diajak bekerja sama.

Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024