London (ANTARA News) - Di flat lantai-12 Lund Point Apartemen jalan Carpenter Road, Stradford, Dian Pangestuti Neilson (32) asyik belajar Iqro` yang dibimbing Yuni, sang tuan rumah, sementara tamu lainnya pun menyimak dan mulai membaca Al Quran. Sebelumnya, anggota pengajian An-Nasihah itu mengadakan sholat bersama di ruang tamu flat yang berukuran tidak terlalu besar. Dari atas flat terlihat kereta api seperti mainan anak-anak melintasi stasiun kereta api Stradford. Perjalanan dari stasiun ini menuju London hanya sekitar sepuluh menit. Biasanya pengajian An-Nasihah yang sebagian besar anggotanya adalah wanita-wanita Indonesia yang bersuamikan warganegara Inggris. Mereka giat belajar mengaji dan mendalami agama Islam dengan tekun setiap minggu sejak setahun lalu. Mungkin waktu di tanah air tidak pernah terbayangkan oleh Dian Neilson, ibu dua anak balita Shaun dan Cullen, untuk mendalami agama Islam dan belajar mengaji meskipun mulai dari Iqro` (metode pembelajaran paling dasar). "Bak pepatah, tidak ada kata terlambat untuk belajar dan tuntutlah ilmu sampai ke negeri seberang," begitu prinsip istri James Neilson itu. Tidak saja Dian Neilson yang mendapat hidayah dari Allah dan semakin dekat dengan sang Pencipta, tetapi ada juga Yasmin, wanita yang bersuamikan keturunan Bangladesh berwarganegara Inggris, Elsye wanita Minang bersuamikan William yang berganti nama menjadi Waroqah, Emma Rachman, Nizma Sochfield, Lies Paris, Miya Bodard dan Yuni bersuamikan pria Inggris keturunan Ethiopia. Biasanya, setiap Senin anggota An-Nasihah berkumpul di rumah Elsye di 13 St Marry Approach, Manor Park, tidak jauh dari tempat mangkalnya kelompok sepakbola West Ham. Hanya saja Yuni sang guru yang tamatan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya itu minta agar pengajian kali ini dilakukan di istana di atas awan lantai 12 Lund Point Apartemen. Pengajian itu diawali dengan sholat zhuhur bersama, dilanjutkan dengan tadarus (membaca ayah suci Al Quran) secara bergantian, penerjemahan, kuliah tujuh menit (kultum), dan ditutup dengan acara makan siang bersama. "Ketika aku hidup di Jakarta dan bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan asuransi dari Amerika, hidupku amatlah penuh dengan kesenangan dunia, shalatpun jarang-jarang, sampai akhirnya menikah dan tinggal di Inggris sejak delapan tahun lalu," ujar Dian. Putri mantan Wakapolsek Duren Sawit, Jakarta Timur itu menceritakan bahwa hidupnya kini berbalik seratus delapan puluh derajad. "Aku ingat siang itu, duduk di depan meja komputer seperti biasa hari-hari kulewati bermain dengan anakku Shaun, yang waktu itu berumur setahun. Kutermenung, apa yang kucari dalam hidup ini. Mau aku bawa ke mana hidupku ini," ujar Dian mengenang masa lalunya. Lebih lanjut, wanita belia itu berujar, "Aku bisa mati besok, apa yang kucari di sini, jauh dari orangtua dan saudara-saudaraku. Aku menangis, kurindu adzan. Insya Allah itu adalah pertanda baik datang padaku, dan mengubah hidupku." Semakin hari dia mengaku semakin dekat dengan Allah, apalagi setelah ibunya meninggal dunia beberapa waktu lalu. Sementara itu, Miya Bodard, wanita kelahiran Enrekang, Sulsel, 33 tahun lalu, justru merasa bersyukur lahir dan dibesarkan dalam keluarga muslim. "Sejak kecil kami sudah dibiasakan untuk menjalani kewajiban beragama," kata Miya, yang sejak 1997 menuntut ilmu di Bath City Collage, kota wisata di Inggris. Menurut wanita yang menikah tahun 2000 dengan Dominique Bodart, pria Belgia, kehidupan beragama di Indonesia memang tidak mendapat banyak kendala, lain halnya dengan di Inggris. Miya bersama sang suami sebelum berpergian selalu merancang di mana mereka akan melaksanakan sholat. Untungnya, lingkungan di mana Miya tinggal terdapat komunitas muslimnya cukup banyak dan juga ada mesjid, namun begitu bungsu dari enam bersaudara ini merasa rindu dengan suasana Ramdhan di tanah air. "Di sini tidak ada acara khusus di televisi, tidak terdengar azan dari mesjid, kecuali melalui internet," katanya. Dia juga melihat tidak adanya diskiriminasi dalam menjalani kewajiban sebagai seorang muslim di tempat mereka tinggal. "Memang suasana Ramdhan tidak semeriah di tanah air, tapi setidaknya Miya dan Amin, nama Dominique setelah menjadi muslim, dapat mengikuti shalat taraweh berjamaah di masjid dekat tempat tinggal kami di High Wycome," katanya lagi. Berpuasa di Inggris, di negeri non-muslim janganlah berharap akan mendapatkan kenikmatan seperti di tanah air. "Di Inggris saya bangun sahur sendiri, berbuka puasa sendiri, bertarawih sendiri, semua kunikmati sendiri. Aku sambut Ramadhan dengan hati yang bahagia. Di tengah berbagai rintangan itu, saya kini merasa betul-betul mendapat petunjuk dan hidayah dari Allah," ujar Dian lagi. (Zeynita Gibbons)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006