Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan menggandeng komunitas untuk mengenalkan aksara kuno kepada masyarakat, salah satunya pada pameran literasi Aksara Gata yang diselenggarakan di Museum Kebangkitan Nasional pada Senin.

“Ditjen Kebudayaan terus mendorong teman-teman komunitas, salah satunya di bawah Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) untuk sama-sama mengusung diseminasi atau sosialisasi aksara kuno sebagai salah satu upaya pemajuan kebudayaan, salah satunya di Museum Kebangkitan Nasional kali ini,” kata Direktur Pelindungan Kebudayaan Kemendikbudristek Judi Wahjudin di Jakarta.   

Judi menjelaskan, selama ini dalam upaya pemajuan kebudayaan ada kegiatan pelestarian warisan budaya, salah satunya pelindungan yang di dalamnya terdapat pendokumentasian dan penerbitan. Namun, komunitas-komunitas yang mengenalkan tentang aksara kuno tersebut masih terbatas.

“Meski dibandingkan dengan segmentasi lain (komunitas aksara kuno) jumlahnya masih sangat terbatas, tetapi beberapa waktu lalu (pengenalan aksara kuno) juga dilakukan oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia yang melakukan lokakarya pengenalan huruf di Museum Nasional, tetapi memang secara kuantitatif masih terbatas,” ujar dia.

Menurutnya, penting untuk memetakan ekosistem epigrafi atau cabang arkeologi yang mempelajari tentang peninggalan benda-benda tertulis, agar terus bergotong royong untuk lebih mengenalkan aksara kuno kepada masyarakat.  

“Maka mungkin sekarang sudah waktunya memetakan ekosistem, mendukung mereka untuk sama-sama melakukan hal tersebut (pelestarian dan pengenalan aksara kuno), karena memang sangat tidak mungkin dilakukan oleh satu lembaga saja, jadi butuh gotong royong dan kerja sama terkait hal ini,” ucapnya.

Ia menyebutkan, Kemendikbudristek selama ini telah memfasilitasi para penggerak kebudayaan dengan dana Indonesiana, tetapi selama ini masih belum banyak komunitas yang mengusulkan program-program pelestarian atau pemajuan kebudayaan, khususnya di bidang epigrafi.

Padahal, ia melanjutkan, dari segi praktis, misalnya dalam penentuan hari-hari ulang tahun kabupaten atau wilayah-wilayah tertentu, sumber primernya berasal dari prasasti atau aksara-aksara kuno dari masa lalu.

“Jadi memang sudah waktunya bergotong royong untuk membuka pemahaman masyarakat, minimal aksaranya, atau mengapresiasi keberadaannya sebagai sumber rujukan utamanya,” kata dia.

Sementara itu, Ketua Pelaksana Pameran Literasi Aksara Gata Ninie Susanti mengemukakan, Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia saat ini memiliki enam komisariat di daerah untuk mengenalkan epigrafi kepada masyarakat, dan dana Indonesiana sangat membantu dalam setiap kegiatan-kegiatan yang dilakukan.

“Dukungan dana Indonesiana yang kami dapat tahun ini memang sangat membantu untuk pengenalan kepada masyarakat karena kami punya program-program bagaimana memasyarakatkan epigrafi, prasasti sebagai warisan budaya itu dilakukan di komisariat daerah,” ujar Ninie.

Ia menyampaikan, PAEI memiliki salah satu kegiatan penting untuk mengenalkan tentang epigrafi dan prasasti sejarah kepada masyarakat.

“Kami punya branding acara namanya napak tulis, di situ masyarakat diajak untuk datang ke satu situs maupun museum yang masih ada prasastinya, kemudian dijelaskan (maknanya), itu saya rasa salah satu cara yang paling efektif untuk mengenalkan kepada masyarakat, mudah-mudahan ini akan tetap berlangsung,” tuturnya.

Menurutnya, aksara Nusantara berasal dari berbagai wilayah di seluruh Indonesia yang ditulis dalam bahasa daerah sehingga pelestariannya perlu menjadi perhatian penting.

Baca juga: Perpusnas lakukan percepatan alih aksara dan bahasa naskah kuno
Baca juga: Muskitnas luncurkan inovasi lima konten baru dalam Kanal Budaya
Baca juga: Museum Prasasti bersiap meninggalkan kesan lokasi uji nyali

 

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2024