Jakarta (ANTARA News) - Erick Hikmat Setiawan, mantan Konsul Jenderal RI di Penang, Malaysia, divonis 20 bulan penjara dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jakarta, Jumat. Majelis Hakim pengadilan tipikor yang diketuai Mansyurdin Chaniago menilai, terdakwa bersalah, karena melakukan tindak pidana korupsi terkait pengenaan biaya pelayanan dokumen keimigrasian di luar aturan yang ada. Erick dinyatakan melanggar hukum sesuai Pasal 3 jo Pasal 18 UU No.31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. "Terdakwa terbukti turut serta melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut," kata Mansyurdin. Selain menjatuhi hukuman penjara 20 bulan, majelis juga menghukum Erick membayar uang denda Rp100 juta subsider tiga bulan penjara. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang meminta, agar terdakwa dihukum penjara tiga tahun, denda Rp150 juta subsider enam bulan penjara dan membayar ganti rugi pada negara Rp513,3 juta yang harus dibayar satu bulan setelah ada kekuatan hukum tetap atau dipidana penjara dua tahun Majelis hakim menilai, Erick tidak dikenai hukuman membayar ganti rugi, karena dari fakta dalam persidangan dan keterangan sejumlah saksi yang dihadirkan uang sejumlah Rp513,3 juta yang menjadi bagian Erick digunakan untuk keperluan operasional Konjen RI di Penang, atau bukan untuk kepentingan pribadi. "Majelis berpendapat ganti rugi Rp513 juta tersebut tidak cukup beralasan, karena terdakwa tidak menikmati, maka tuntutan JPU untuk adanya uang pengganti harus ditolak," kata salah seorang anggota majelis, Sofialdi. Meski demikian, majelis hakim menilai, semua unsur dalam dakwaan ketiga, yaitu Pasal 3 UU No.31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 telah terpenuhi, sehingga terdakwa dinyatakan bersalah. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan penyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukannya dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi. "Terdakwa juga dinilai menjadi meideplager, karena saat baru menjabat sebagai Konjen RI di Penang pada Februari 2004 tetap menyetujui pemberlakuan SK Dubes RI nomor 021 tahun 1999 yang mengakibatkan adanya tarif ganda dalam pengurusan dokumen keimigrasian," demikian majelis hakim. Meideplager adalah sebutan untuk "teman pelaku". Erick dipersalahkan, karena setelah mendapat laporan dari Kasubdit Imigrasi Penang, M. Khusnul Yakin Payapo, tentang adanya praktik pungutan tersebut, terdakwa tidak berusaha untuk menghentikannya. Menanggapi putusan majelis hakim, Erick usai persidangan menyatakan banding atas putusan tersebut, sedangkan JPU yang beranggotakan Wisnu Baroto, Edy Hartoyo dan I Kadek Wiradana menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut. Erick yang bertugas sebagai Konjen di Penang, Malaysia, sejak 19 Februari 2004 hingga 5 Oktober 2005 dinilai telah melakukan tindak pidana korupsi terkait pungutan tak resmi pengurusan dokumen keimigrasian. Dalam surat tuntutannya JPU menjelaskan bahwa dari fakta yang diperoleh dalam persidangan diketahui bahwa terdakwa saat pertama menempati pos Konjen di Penang telah mendapatkan laporan dari Kepala Bidang Keimigrasian Konjen Penang, Muhammad Khusnul Yakin Payapo. "Terdakwa mendapat laporan dari Khusnul bahwa terdapat dua jenis pembiayaan dalam pengurusan dokumen keimigrasian. Biaya yang pertama lebih tinggi nilainya dari jenis biaya yang kedua," kata Wisnu. Biaya yang nilainya lebih rendah sesuai dengan aturan resmi dan disetorkan kepada keuangan negara, namun ternyata yang diberlakukan adalah biaya yang pertama dan selisihnya tidak disetorkan pada kas negara. Dalam catatan JPU, terdapat 29.615 paspor yang telah dibuat di Konjen RI di Penang sejak 2003 hingga 2005. Sementara itu, kerugian negara mencapai Rp4,798 juta ringgit pada periode 19 Februari 2004 hingga 5 Oktober 2005 akibat selisih pembuatan dokumen keimigrasian tidak dimasukkan ke dalam kas negara melalui pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006