Banda Aceh (ANTARA) - Provinsi Bali pernah mengalami krisis listrik pada 1999 yang mempengaruhi keadaan sosial ekonomi masyarakat di daerah tujuan wisata internasional itu.

Penyebabnya akibat gangguan pada sambungan kabel bawah laut antara Jawa dan Bali.

Saat itu, lini kehidupan masyarakat yang dominan bergantung pada pasokan listrik konvensional atau bertenaga fosil, terdampak signifikan akibat suplai listrik yang mengalami masalah.

Pemerintah, kemudian mengerahkan segala upaya untuk mengembalikan keandalan listrik di Pulau Dewata, di antaranya mengerahkan Kapal Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.

Bahkan kapal milik perusahaan milik negara (BUMN) itu bertugas di Bali selama kurun waktu dua tahun untuk menyuplai kebutuhan listrik kepada masyarakat di Pulau Dewata.

Kontribusi kapal gagah itu kini tinggal kenangan, bahkan menjadi monumen abadi yang membuat takjub dan membangkitkan rasa ingin tahu yang tinggi dari pengunjung.

Penyebabnya bukan karena sudah "pensiun" karena faktor usia, melainkan akibat peristiwa bersejarah dan menjadi saksi bisu gempa besar bermagnitudo 9,3 dan tsunami di Aceh pada 2004.

Kapal PLTD Apung yang saat ini menjadi museum di Desa Punge Blang Cut, Banda Aceh, Minggu (8/9/2024) ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Jadi museum

PLTD Apung yang saat ini berada di Desa Punge Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru, Kota Banda Aceh, saat ini menjadi salah satu tujuan wisata yang menarik wisatawan domestik dan mancanegara.

Apalagi, Banda Aceh menjadi tuan rumah pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI 2024 bersama Sumatera Utara.

Di sela kontingen dari seluruh Indonesia bertanding dalam kompetisi terbesar nasional empat tahun sekali itu, mereka juga mengunjungi kapal jumbo berbobot 2.600 ton dan panjang 63 meter tersebut yang saat ini menjadi museum.

Sejatinya, ketika bencana besar tsunami itu terjadi, kapal pembangkit listrik bertenaga diesel tersebut baru berusia delapan tahun, setelah rampung dibuat di Batam pada Oktober 1996.

Awalnya, kapal yang memiliki kapasitas 10,5 megawatt untuk memasok listrik di Kota Madya Aceh dan Ulee Lheue itu bersandar di Pelabuhan Ulee Lheue sejak 2003.

Keberadaannya di Banda Aceh untuk menyuplai listrik karena daerah itu acap kali mengalami gangguan, ketika saat itu terjadi konflik antara pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Kapal yang memiliki luas 1.600 meter dan tinggi 4,3 meter itu akhirnya terhempas sejauh lima kilometer ke daratan Punge Blang Cut akibat tsunami.

Selain di Bali, kapal itu juga berkontribusi untuk mengatasi krisis listrik di Pontianak pada 1997, kemudian pada 2000 berhasil mengatasi krisis listrik di Madura dan 2003 di Aceh.

Saat ini, rekam jejak dan kiprah kapal itu dapat diamati pengunjung karena kapal tersebut sudah menjadi museum berlantai dua.
 

Kapal PLTD Apung yang saat ini menjadi museum di Desa Punge Blang Cut, Banda Aceh, Minggu (8/9/2024) ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Kondisi listrik di Bali

Keberadaan Kapal PLTD Apung di tengah permukiman di Banda Aceh yang saat ini pembangunannya sudah pulih itu pun menarik untuk mencermati kondisi listrik, khususnya di Bali.

Berdasarkan data PLN, saat ini daya mampu kelistrikan di Pulau Dewata mencapai 1.408 megawatt. Sementara perkiraan beban puncak tertinggi pada Mei 2024 mencapai sekitar 1.051 megawatt, sehingga masih terdapat cadangan daya.

Hanya saja, pasokan listrik di Bali itu juga disuplai dari Pulau Jawa, sehingga memerlukan inovasi dalam kemandirian energi.

Pasalnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan pada 2035 pasokan listrik Jawa-Bali tidak lagi surplus karena makin tingginya kebutuhan, sehingga perlu diantisipasi.

Sementara itu, berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali 2023-2043, infrastruktur pembangkitan tenaga listrik di Bali didukung 11 unit pembangkit listrik.

Pembangkit tenaga listrik milik PTN PLN itu, yakni Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) Gas Gilimanuk di Kabupaten Jembrana, PLT Gas Pesanggaran, PLT Disel Pesanggaran, PLT Disel Gas Pesanggaran di Kota Denpasar.

Kemudian PLT Uang Celukan Bawang, PLT Gas Pemaron di Kabupaten Buleleng, PLT Surya Bangli, PLT Surya Kubu di Karangasem, PLT Mikro Hidro Panji Muara Raya di Buleleng, PLT Disel Kutampi dan PLT Disel Bayu Tiga di Kabupaten Klungkung.

Di sisi lain, pengembangan energi baru terbarukan juga terus digalakkan di Bali, antara lain dengan rencana PLT Hybrid Nusa Penida, PLT Gas/Gas Uap Bali di Denpasar, PLT Mikro Hidro Titab di Buleleng, PLT Surya Bali Barat dan PLT Surya Bali Timur.

Pengembangan energi baru terbarukan juga dilakukan, salah satunya di Pulau Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali, sejak 2022, yakni PLT Surya dan Sistem Penampungan Energi Baterai (BESS) yang memiliki kapasitas 3,5 megawatt pada lahan seluas 4,5 hektare.

Rencananya, pembangunan pembangkit energi baru dan terbarukan (PLTS dan BESS) juga dilakukan dengan kapasitas sebesar 10 megawatt pada 2026.

Dengan melihat kapal PLTD itu masyarakat kini kembali disadarkan betapa dahsyatnya bencana alam tersebut dan sekaligus diingatkan akan kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa, menjelang peringatan 20 tahun gempa dan tsunami pada 26 Desember 2024 di Aceh.

Selain menyusuri kapal itu, rekam jejak peristiwa kelam di Aceh juga masih tercatat jelas di Museum Tsunami Aceh yang seakan mengajak pengunjung merasakan besarnya dampak gempa dan tsunami.

Napak tilas di Kapal PLTD Apung itu juga mengingatkan kembali upaya mitigasi, termasuk salah satunya dalam menjaga suplai kelistrikan dari faktor tidak terduga, seperti bencana alam yang tak pernah diketahui kapan datangnya bencana itu oleh manusia.
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024