Jakarta (ANTARA News) - Pembiayaan pembangunan proyek pembangkit batubara 10 ribu Megawatt (MW) PT PLN (persero) dalam rangka crash program batal dibiayai dengan sukuk (obligasi syariah) karena terbentur masalah perpajakan. "Proyek PLN itu hampir dipastikan tidak dengan sukuk, tetapi lebih memilih menerbitkan obligasi konvensional (global bond)," kata Meneg BUMN Sugiharto, di Kantor kementerian BUMN, di Jakarta, Jumat. Ia menjelaskan, dirinya telah bertemu dengan Dirjen Pajak Darmin Nasution, dan diinformasikan UU Perpajakan belum rampung. "Jadi tidak akan bisa fly, karena masalah perpajakan yang belum dapat diimplementasikan dalam penerbitan sukuk tersebut," kata Sugiharto. Menurutnya, yang bisa dilanjutkan adalah program pembiayaan dengan obligasi, namun nilainya diserahkan kepada PT PLN sebagai pihak yang membutuhkan dana. "Saya tidak mau berspekulasi soal nilai obligasi yang akan diterbitkan. PLN tentu lebih mengetahui berapa besar kebutuhan dan kemampuannya," kata Sugiharto. Diketahui, untuk membiayai pembangunan proyek tersebut, dibutuhkan dana antara 800 juta dolar AS hingga 1 juta dolar AS. Ia optimis, pembiayaan PLN dengan obligasi akan diminati investor, karena belakangan rating utang perusahaan listrik "plat merah" itu sudah lebih baik. Diinformasikannya, lembaga pemeringkat Standard & Poor dan Moody`s memberikan rating PLN double b minus (BB-), dengan outlook stabil, atau sama dengan peringkat utang (souvereign rating) pemerintah Indonesia. "Yang saya tahu dari situs S & P dan Moody`s rating PLN sudah sangat bagus. Allahhu Akbar, Insya Allah rating ini dapat mendorong minat investor membiayai PLN," katanya. Dengan demikian diutarakannya, keputusan tidak menerbitkan sukuk bukan menjadi hal yang mengganjal, tetapi lebih pada perangkat pajak yang belum tersedia. "Kalau dengan obligasi konvensional sudah tidak masalah. Dan, keputusan itu juga merupakan bagian hasil pembahasan mengenai Islamic Financing dengan ahli ekonomi syariah dan Ditjen Pajak," katanya.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006