Ankara (ANTARA) - Aysenur Ezgi Eygi, aktivis Turki-Amerika, ditembak mati pasukan Israel saat berunjuk rasa di Tepi Barat pada 6 September.

Eygi, 26 tahun, datang ke wilayah tersebut untuk mendukung perlawanan Palestina terhadap pendudukan Israel, menurut laporan dari International Solidarity Movement.

Pada 3 September, Eygi pergi untuk mengikuti unjuk rasa di kota Beita, Nablus, Tepi Barat, dalam rangka menentang permukiman ilegal Israel yang dibangun di sana.

Gerakan tersebut melaporkan bahwa pada 6 September Eygi sengaja menjadi sasaran dan dibunuh oleh seorang penembak jitu Israel yang berada di atap bangunan terdekat.

Saksi mata melaporkan bahwa Eygi berada jauh dari area unjuk rasa saat dia ditembak oleh penembak jitu.

Dia dibawa ke rumah sakit Palestina tetapi tidak bisa diselamatkan meskipun sudah dilakukan upaya terbaik para dokter.

Eygi, yang lahir di kota Antalya, Mediterania Turki pada tahun 1998 itu, menempuh pendidikan ganda dalam bidang psikologi dan bahasa serta budaya Timur Tengah di University of Washington, Seattle, Amerika Serikat.

Dia baru saja lulus pada bulan Juni lalu, dan dikenal atas dedikasinya pada kegiatan sosial dan pengabdian masyarakat.

Kepasrahan penuh kepada Allah

Merujuk pada terjemahan Islam pada kalimat "submission to God ("penyerahan diri kepada Tuhan)," Eygi menggambarkan karyanya sebagai "perjalanan dalam kepasrahan penuh kepada Allah," sementara orang-orang terdekatnya mengenangnya sebagai istri, anak, saudara, teman, dan sekutu yang luar biasa, baik bagi mereka yang dikenal maupun yang tidak.

Dalam beberapa tahun terakhir, Eygi aktif terlibat dengan Wasat, sebuah kelompok yang fokus pada kegiatan untuk membantu kaum Muslim di Amerika Serikat.

Setelah kematiannya, sebuah foto dari salah satu kegiatannya pada 2019 banyak dibagikan.

Dalam foto tersebut, Eygi memegang catatan yang bertuliskan: "Wasat bagi saya adalah ummah (komunitas) yang saya butuhkan untuk mendukung perjalanan saya dalam kepasrahan penuh kepada Allah. Sebuah komunitas yang didedikasikan untuk saling mendukung di jalan yang lurus."

Setelah Eygi dibunuh oleh tentara Israel, Wasat merilis pesan belasungkawa yang mengutip ayat dari Al-Qur'an: "Dan janganlah kamu mengatakan tentang orang-orang yang terbunuh di jalan Allah, 'Mereka itu mati.' Sebenarnya, mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya."

Kelompok tersebut melanjutkan: "Kami ridha dengan ketetapan Allah, namun kami tetap berduka sebagai satu komunitas. Pagi ini kami bangun dengan kabar duka bahwa seorang anggota komunitas tercinta, Aysenur Ezgi Eygi, dibunuh oleh pasukan pendudukan Israel saat memprotes aneksasi ilegal Tepi Barat di Palestina".

"Aysenur adalah anggota yang selalu mengaitkan spiritualitasnya dengan aktivismenya di masyarakat. Dia menjadi sukarelawan di International Solidarity Movement, organisasi yang sama tempat Rachel Corrie (aktivis Amerika) menjadi martir saat memprotes secara damai untuk Palestina pada tahun 2003."

"Seperti Imam Husain (cucu Nabi Muhammad yang wafat pada abad kelima), Malcolm (X), dan para tokoh besar dalam tradisi kami, Aysenur mengorbankan hidupnya demi prinsip yang dia yakini: membela mereka yang tak bersuara, berada di sisi yang tertindas, mewujudkan iman melalui tindakan".

"Aksi protes terakhirnya melawan permukiman ilegal Israel di Gunung Sbeih, Beita, selatan Nablus, adalah doa dari langkah-langkahnya yang insya Allah akan membawanya sebagai syahid ke hadapan Allah."

Dampak positif

Di akun LinkedIn-nya, Eygi menggambarkan pekerjaannya dan aspirasinya: "Saya memiliki dasar yang kuat dalam bimbingan, terapi perilaku, dan pemasaran, dengan komitmen mendalam terhadap layanan masyarakat".

"Pengalaman profesional saya yang beragam meliputi membimbing siswa menuju kesuksesan akademis, menerapkan teknik ABA (analisis perilaku terapan) untuk mendukung anak-anak dengan autisme, dan menciptakan strategi pemasaran yang berdampak di industri layanan".

"Pekerjaan sukarela saya memungkinkan saya memberikan dampak baik secara lokal maupun internasional, dari koordinasi acara hingga menawarkan dukungan rehabilitatif di komunitas yang kurang beruntung. Saya digerakkan oleh semangat untuk memberikan dampak positif dan terus mencari peluang untuk belajar, berkembang, dan berkontribusi pada proyek yang bermakna."

Setelah Eygi dibunuh oleh pasukan Israel, laporan forensik dari Institut Kedokteran Forensik Palestina menyatakan bahwa peluru fatal "mengenainya dari sisi kiri, hampir dalam lintasan lurus."

Seorang relawan yang bekerja sama dengan Eygi di organisasi tersebut, yang meminta namanya dirahasiakan, mengatakan tentang Eygi: "Saya tidak tahu bagaimana mengatakannya, tidak ada cara yang mudah. Saya berharap bisa mengatakan sesuatu yang berarti, tapi saya tidak bisa saat saya terisak."

jiwa terlembut

Lubna Alzaroo, seorang dosen di University of Washington, mengenang temannya, Eygi di Facebook.

"Saya terbangun pagi ini dengan berita bahwa dia dibunuh di Beita, Nablus oleh tentara Israel saat berdiri dalam solidaritas dengan petani Palestina," tulis Alzaroo di samping foto-foto Eygi.

"Aysenur Eygi, dikenal juga sebagai Aysha. Saya hanya bertemu Aysha sekali. Saya mengundang sepupu dan teman-teman untuk acara BBQ sebagai ucapan terima kasih karena membantu saya pindah dari Renton ke Bellevue (negara bagian Washington). Sepupu saya membawa Aysha agar kami bisa berkenalan. Aysha baru saja lulus dari University of Washington dengan gelar dalam bidang Psikologi. Dia sedang mendaftar ke sekolah pascasarjana di antropologi di California dan tempat lain."

“Aysha adalah salah satu jiwa termanis dan paling lembut yang pernah saya temui. Dia membuat brownies dan membawanya bersama. Seminggu kemudian, kami membawa brownies itu ke mana-mana dan membagikannya kepada teman dan keluarga. Dia tertawa mendengar betapa berisiknya para pria Arab, memakan makanan saya, berbincang dengan bibi saya, dan bercerita tentang tantangannya saat berdiskusi dengan administrasi UW tentang aksi protes untuk Gaza."

"Dia meminta sajadah pada suatu saat di malam itu, lalu shalat di sudut rumah saya. Dia bercerita tentang rencananya untuk musim panas itu. Dia sangat bersemangat mengunjungi keluarga besar dan teman-temannya di Turki, dan sangat antusias akhirnya bisa mengunjungi Palestina."

Sumber: Anadolu

Baca juga: AS tunggu Israel sebelum beri konsekuensi pembunuhan warganya
Baca juga: Turki desak respons tegas internasional di kebijakan pendudukan Israel


Penerjemah: Primayanti
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024