Mobil dan motor yang rusak akibat terjangan tsunami Aceh 2004 di Museum Tsunami Aceh, Banda Aceh, Minggu (8/9/2024). (ANTARA/Rizka Khaerunnisa)
Bangkit dan terus merawat memori

Museum Tsunami turut menyimpan berbagai jenis benda milik masyarakat yang berserakan pascatsunami. Mulai dari Al Quran, televisi, mobil, motor, kamera, ponsel, sepatu, pakaian, hingga barang-barang rumah tangga dan pecah belah. Seluruh benda itu masih terawat dengan baik, bahkan sisa lumpur yang membeku masih menempel di sana-sini.

Ada pula rekonstruksi PLTD Apung dan model miniatur rumah-rumah yang hancur akibat gempa dan tsunami. Berbagai koleksi foto pascabencana, baik digital maupun cetak, juga dipajang di dalam ruangan.

Bencana tsunami yang dahsyat meninggalkan kesan mendalam bagi masyarakat Aceh. Dua dekade berlalu, memori kolektif yang dirawat itu menjadi bukti bagaimana ketangguhan masyarakat Aceh saat perlahan-lahan menata hidup dan bangkit kembali dari kedukaan.

Akan tetapi sebagian generasi muda Aceh, terutama yang lahir pasca-2004, tidak sepenuhnya memiliki gambaran bagaimana tsunami yang pernah meluluhlantakkan bumi Serambi Mekkah itu.

Kepala UPTD Museum Tsunami Aceh M. Syahputra Azwar mengatakan, untuk itulah museum ini hadir tidak hanya menjaga memori kolektif melainkan juga memiliki misi untuk menyebarkan edukasi kebencanaan kepada generasi muda.

Walaupun Aceh sudah kembali bangkit, Syahputra mengingatkan bahwa pengetahuan mengenai kebencanaan sebaiknya jangan sampai hilang. Memori kolektif tidak saja berhenti sebagai refleksi, tetapi juga senantiasa mendorong kesiapsiagaan diri. Ini mengingat Aceh—atau Indonesia pada umumnya—tetap berada dalam wilayah dengan potensi kebencanaan alam yang tinggi.

Mewakili masyarakat Aceh, Syahputra menuturkan rasa terima kasihnya kepada masyarakat dunia yang sudah mendukung Aceh pascatsunami.

"Kalau tidak ada bantuan dan dukungan pada saat itu, mungkin Aceh belum bangkit seperti saat ini," ujarnya.

Museum Tsunami—yang didesain serupa kapal raksasa—juga kapal nelayan yang tersangkut di atas rumah penduduk di Lampulo, seolah menjadi simbol betapa tangguhnya masyarakat Aceh dalam melawan ombak kedukaan demi kedukaan.

Begitu pula Masjid Raya Baiturrahman dan masjid lain yang tetap kokoh diterjang tsunami, kapal PLTD Apung yang terseret hingga ke kota Banda Aceh, hingga kuburan massal korban tsunami tanpa batu nisan di beberapa lokasi.

Lokasi-lokasi yang merawat memori kolektif bencana tsunami Aceh menjadi penanda besarnya asa hidup yang tidak pernah putus bahkan setelah dua dekade berlalu. Ketangguhan-ketangguhan itu senantiasa mengelilingi masyarakat Aceh. Demikianlah Aceh awal abad ke-21 akan selalu diingat.

Baca juga: Binaragawati: Dekonstruksi kemolekan perempuan

Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2024