Konflik Kultural

Perempuan sejak lama kerap dilekatkan pada aktivitas domestik semata. Perempuan selalu dikonotasikan sebagai manusia pekerja domestik yang dinilai tidak dapat berkontribusi secara aktif di luar rumah.

Di Indonesia yang selalu dikait-kaitkan dengan budaya ketimuran, melihat perempuan berotot dan kontes dengan pakaian seksi pasti akan dicap jauh dari nilai-nilai norma kesopanan.

sebagai contoh saat ajang Miss Universe 2021. Putri Indonesia Ayu Maulida yang saat itu memakai bikini mendapat kecaman dari masyarakat. Namun tak sedikit pula yang memujinya.

Bahkan di media sosial hal tersebut seolah menjadi perdebatan yang tak kunjung usai saat itu. Lagi-lagi norma sosial dan adat ketimuran menjadi alasan dari kecaman tersebut. Perempuan dianggap harus santun dan tak menampilkan sisi-sisi keseksian.

Lalu bagaimana di binaraga? Karena yang dinilai adalah massa otot maka mau tak mau atlet harus menggunakan pakaian yang memudahkan para juri untuk menilainya.

Namun hal itu bukan masalah juga. Kita bisa berkaca pada Khloud Essam asal Mesir yang menjadi atlet binaraga perempuan pertama di negeri Pharaoh.

Atau Fathia Al-Amamy dari Libya serta Majizita Bhanu asal India. Ketiganya mampu berprestasi dengan tetap mempertahankan norma yang mereka yakini.

Rum Ningsih beserta binaragawati lainnya mencoba merombak citra yang keliru tentang feminitas dan kekuatan. Mereka ingin membuktikan bahwa perempuan dapat menjadi kuat secara fisik tanpa kehilangan identitas atau nilai-nilai feminim.

Apa yang mereka lakukan juga seolah menunjukkan bahwa kekuatan bukanlah domain eksklusif laki-laki, tetapi hak yang setara bagi semua individu.


Baca juga: Binaraga tidak sesederhana dibayangkan awam
Baca juga: Akhir penantian dua dekade binaraga DKI Jakarta

Copyright © ANTARA 2024