Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden Boediono mengungkap proses pemberian dana talangan dalam bentuk penyertaan modal sementara kepada Bank Century pada 2008 saat memberikan kesaksian dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat.
Dalam sidang itu jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi KMS Roni bertanya kepada Boediono, yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI), tentang pembengkakan pemberian dana talangan untuk Century.
"Rapat KSSK pada tanggal 20 November 2008 mengatakan Bank Century membutuhkan Rp632 miliar, bagaimana bisa membengkak menjadi Rp6,7 triliun? Apakah BI mempresentasikan anggaran dengan benar-benar memberikan data kebutuhan dana tersebut?" tanya dia.
"Dalam krisis, apapun yang kita anggap sebagai perkiraan ke depan untuk menutup likuiditas atau modal selalu tentatif, tapi tergantung keadaan ke depan misalnya berapa orang yang akan mengambil uangnya, kita tidak tahu ini tentu akan mengubah kondisi keuangan lagi tapi saat itu LPS dan pengawas banklah yang tahu kebutuhan dari bulan ke bulan," jawab Boediono.
Selain menjadi Gubernur Bank Indonesia, ketika penyertaan modal sementara untuk Bank Century dikucurkan dia juga menjabat sebagai anggota Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KKSK), yang berwenang memutuskan apakah satu bank gagal punya dampak sitemik pada perekonomian.
Apabila kondisi satu bank dinilai berdampak sistemik terhadap perekonomian berdasarkan data Bank Indonesia maka bank itu diserahkan ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan mendapat suntikan modal.
Pada rapat KSSK 21 November 2008 dini hari, KSSK memutuskan Bank Century adalah bank gagal berdampak sistemik dengan melampirkan data kebutuhan modal Rp632 miliar namun belakangan dana yang dikucurkan LPS untuk Century mencapai Rp6,7 triliun hingga Juni 2009.
"Apakah Bapak tidak menanyakan kepada Muliaman Hadad (saat itu Deputi Gubernur BI) bahwa yang dana yang dibutuhkan Bank Century saat itu berjumlah Rp1,7 triliun tapi diubah menjadi Rp632 miliar?" tanya jaksa Roni.
"Saya percaya sama anak buah, tapi saya mohon maaf Beliau kolega saya, Beliau kolega yang independen, apapun yang disodorkan itu saya percaya," jawab Boediono.
Boediono menekankan bahwa saat itu terjadi krisis dengan indikasi likuiditas perbankan kering karena uang mengalir keluar, kurs melonjak-lonjak seperti pada 1997, dan ditambah pasar uang macet karena antara satu bank dengan yang lain tidak bisa saling percaya dan butuh likuidias untuk dirinya sendiri.
"Jadi ada aliran keluar modal dolar seperti yang terjadi pada 1997 terjadi pada bulan Oktober-November 2008, rata-rata uang Rp3 miliar dolar keluar dari Indonesia karena kita tidak menerapkan blanket guarantee padahal Singapura, Malaysia, Hong Kong sudah menerapkan, jadi deposan besar merasa aman untuk membawa uang ke negara yang menerapkan blanket guarantee," katanya.
Blanket guarantee adalah pemberian jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat seperti yang dilakukan oleh pemerintah kepada perbankan saat krisis 1997-1998.
Tapi menurut Undang-Undang No. 10/1998 tentang Perbankan, penjaminan bank hanya dilakukan oleh LPS untuk tabungan dan deposit masyarakat maksimal Rp2 miliar dengan bunga tidak melebihi bunga acuan bank sentral.
"Saya dan anggota deputi gubernur BI lain menekankan karena kita tidak ada blanket guarantee maka risiko membiarkan bank gagal sangat fatal," ungkapnya.
Namun mengenai jumlah penyertaan modal sementara yang diberikan ke LPS, menurut Bodiono, bukanlah urusan Bank Indonesia ataupun KSSK.
"Yang memutuskan bank ini adalah bank gagal berdampak sistemik adalah KSSK, tapi perhitungan dana diserahkan ke LPS," tambah Boediono.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014