Sayangnya, selama ini hal tersebut belum sepenuhnya dilakukan terutama oleh pemerintah. Tak dapat dipungkiri bahwa penanganan kasus kekerasan terhadap anak belum serius dilakukan pemerintah,"

Yogyakarta (ANTARA News) - Hukum dan kebijakan di Indonesia harus diperkuat untuk mencegah kasus-kasus kekerasan, eksploitasi, bahkan tindak penelantaran terhadap anak, kata pakar kebijakan publik Universitas Gadjah Mada Agus Heruanto Hadna.

"Sayangnya, selama ini hal tersebut belum sepenuhnya dilakukan terutama oleh pemerintah. Tak dapat dipungkiri bahwa penanganan kasus kekerasan terhadap anak belum serius dilakukan pemerintah," katanya di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Yogyakarta, Kamis.

Pada diskusi "Menilik Kebijakan dan Sistem Perlindungan Anak", ia mengatakan koordinasi, baik antara kementerian terkait, kementerian dengan struktur di wilayah provinsi dan kabupaten/kota maupun dengan lembaga-lembaga pemerhati dalam bidang perlindungan anak dan perempuan belum terjadi.

"Itulah salah satu kelemahan di Indonesia, kebijakannya masih sangat sektoral. Masing-masing sektoral mempunyai kebijakan sendiri, dan satu sama lain sering tidak nyambung," katanya.

Menurut dia, selama ini penerapan pola kebijakan di Indonesia selalu berdasarkan pembuktian. Akhirnya untuk kasus semacam itu seolah-olah perlu ada yang menjadi korban dulu sebelum disusun aturan dan kebijakan tentang hal itu.

"Aspek-aspek pencegahan sering terabaikan dalam penyusunan peraturan dan kebijakan tentang perlindungan anak," katanya.

Ia mengatakan salah satu aspek pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan pendidikan seks bagi anak. Anak-anak perlu diajarkan bagaimana cara menghargai tubuhnya sendiri maupun respek terhadap orang lain.

Namun, hal itu tampaknya masih sulit dilakukan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh menilai pendidikan seks masih tabu di Indonesia, lebih baik memprioritaskan pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama di dalam kurikulum pengajaran.

Menurut Hadna, pendidikan seks bagi anak dan pendidikan budi pekerti merupakan dua hal yang berbeda. Memang ada kelompok-kelompok tertentu yang belum bisa memahami, bahkan cenderung resisten terhadap pendidikan seks, yang diartikan dalam makna porno, tabu, dan konotasinya selalu negatif.

"Pemerintah semestinya tidak bisa begitu saja memutuskan bahwa pendidikan seks bagi anak tidak dibutuhkan. Persoalannya adalah bagaimana metode pendidikan seks yang tepat, yang sesuai dengan setiap perkembangan umur anak, serta dinilai tidak melanggar norma masyarakat maupun agama," katanya.

Ia mengatakan, tugas pemerintah dalam hal itu harus mencari model atau metode yang cocok. Ada banyak lembaga dan yayasan yang fokus terhadap anak dan perempuan serta tokoh agama dan tokoh masyarakat yang bisa diajak untuk duduk bersama mendiskusikan hal itu.

"Bukan saatnya lagi pemerintah mengambil sikap diam dan sekadar menjadi pemantau dalam perkembangan kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Sikap ini justru tidak efektif dalam mengungkap persoalan kekerasan yang dihadapi anak," katanya.(*)

Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014