Jakarta (ANTARA) - Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Permenkop) Nomor 8 Tahun 2023 tentang Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi membawa sejumlah perubahan signifikan dalam tata kelola koperasi di Indonesia.

Meski bertujuan baik untuk meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas koperasi, implementasinya menghadirkan berbagai tantangan dan hambatan bagi pengurus koperasi ke depan.

Salah satu perubahan mendasar adalah terkait keanggotaan koperasi. Peraturan baru ini menekankan pentingnya partisipasi aktif anggota dan pembatasan keanggotaan ganda.

Hal ini bertujuan menciptakan koperasi yang lebih solid, namun di sisi lain dapat membatasi pertumbuhan keanggotaan koperasi.

Pengurus koperasi dituntut untuk lebih selektif dalam merekrut anggota baru dan mengaktifkan partisipasi anggota lama.

Pembatasan masa jabatan pengurus menjadi tantangan tersendiri. Meski bertujuan mencegah monopoli kepemimpinan, hal ini berpotensi mengganggu kontinuitas program koperasi.

Pengurus yang baru terpilih membutuhkan waktu untuk beradaptasi, sementara program-program jangka panjang mungkin terhambat akibat pergantian kepemimpinan yang terlalu sering.

Persoalan hak milik atas aset koperasi juga menjadi isu krusial.

Ketidakjelasan status kepemilikan aset dapat menimbulkan konflik internal dan menghambat pengembangan usaha koperasi. Pengurus perlu berhati-hati dalam mengelola aset koperasi agar tidak terjerat masalah hukum di kemudian hari.

Adanya pasal-pasal pidana dalam peraturan ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi pengurus koperasi.

Meski bertujuan mencegah penyalahgunaan wewenang, hal ini dapat membuat pengurus ragu dalam mengambil keputusan strategis yang berisiko. Diperlukan pemahaman mendalam tentang aspek hukum bagi para pengurus koperasi.

Penggunaan teknologi informasi di lingkungan koperasi menjadi keharusan di era digital.

Namun, ketiadaan payung hukum yang jelas mengenai batasan penggunaan teknologi ini menimbulkan grey area yang berpotensi disalahgunakan. Pengurus koperasi dituntut untuk berhati-hati dalam mengadopsi teknologi baru.

Hal lain yang juga memicu diskusi adalah masuknya koperasi yang memberikan layanan jasa keuangan kepada masyarakat umum (open-loop) ke dalam pengawasan OJK. Hal ini dianggap oleh sebagian pihak sebagai pengurangan otonomi koperasi dan potensi konflik regulasi.

Bahkan ada kekhawatiran bahwa pengawasan OJK akan berdampak pada penetapan suku bunga simpanan dan pinjaman yang lebih rendah. Hal ini dapat mengurangi keuntungan koperasi dan kemampuannya dalam memberikan pelayanan kepada anggota.

Kenaikan persyaratan modal minimum bagi koperasi yang menjalankan usaha simpan pinjam juga menjadi perdebatan. Beberapa pihak menilai bahwa hal ini akan menyulitkan koperasi kecil dan menengah untuk memenuhi ketentuan tersebut.

Di sisi lain, ada yang menilai bahwa pengawasan OJK akan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi konsumen, terutama terkait transparansi informasi dan penanganan sengketa.


Melindungi masyarakat

Penulis berpendapat bahwa tujuan adanya perundangan dan peraturan memang baik untuk melindungi masyarakat.

Namun, implementasinya perlu mempertimbangkan kondisi riil koperasi di lapangan. Koperasi sebagai pelaku ekonomi yang relatif lemah membutuhkan dukungan lebih dari sekadar regulasi.

Koperasi simpan pinjam (KSP/KSPPS) yang selama ini tidak mendapatkan fasilitas dari Pemerintah merasa bahwa regulasi ini tidak adil, sementara pada saat awal para tokoh koperasi babad habis-habisan mengedukasi bahkan memiliterasi masyarakat untuk berkoperasi.

Namun saat koperasi ini sudah besar, peran dan ikatan dengan koperasinya dipaksa untuk di lepaskan, dan kebijakan internal yang selama ini di kelola untuk menyelamatkan koperasi dari risiko kegagalan, tiba-tiba mesti mengikuti pola perbankan yang sangat mekanistis dan mengabaikan humanistis.

Sosialisasi yang intensif mengenai peraturan baru ini sangat diperlukan. Tanpa pemahaman yang memadai, peraturan yang bertujuan menguatkan posisi koperasi justru dapat menjadi bumerang.

Pemerintah perlu melakukan edukasi menyeluruh kepada seluruh pemangku kepentingan koperasi. Argumentasi, urgensi, dan dampak positif apa yang bermanfaat baik bagi koperasi itu sendiri maupun terhadap lingkungan masyarakat yang lebih luas atas regulasi tersebut.

Penguatan capacity building SDM koperasi menjadi kunci keberhasilan implementasi peraturan ini. Tanpa SDM yang mumpuni, peraturan sebaik apapun akan sulit diterapkan.

Program pelatihan dan pendampingan intensif bagi pengurus koperasi perlu digalakkan.
Penyiapan infrastruktur pendukung juga tak kalah penting.

Koperasi membutuhkan dukungan teknologi dan sistem manajemen yang memadai untuk dapat memenuhi standar yang ditetapkan dalam peraturan baru. Tanpa ini, koperasi akan kesulitan beradaptasi dengan tuntutan regulasi.

Ada empat poin krusial yang perlu dipahami regulator. Pertama, peran tokoh sentral dalam koperasi masih sangat penting di Indonesia.

Tokoh ini menjadi magnet yang menarik kepercayaan masyarakat terhadap koperasi. Melepaskan peran tokoh ini dari struktur kepengurusan dapat mengancam keberlanjutan koperasi.

Kedua, ketidakjelasan payung hukum penggunaan teknologi informasi di koperasi menimbulkan ketidakpastian. Batasan antara praktik legal dan ilegal dalam penggunaan teknologi perlu diperjelas untuk menghindari penyalahgunaan.

Ketiga, status kepemilikan aset koperasi yang masih disejajarkan dengan yayasan perlu ditinjau ulang. Koperasi seharusnya memiliki hak penuh atas asetnya tanpa perlu menitipkan kepemilikan pada individu tertentu.

Terakhir, perlu diingat bahwa setiap perubahan membutuhkan proses adaptasi. Implementasi peraturan baru ini harus dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan koperasi di lapangan.

Tanpa pendekatan yang hati-hati dan komprehensif, regulasi yang bertujuan baik justru dapat menjadi kontraproduktif dan meruntuhkan eksistensi koperasi yang sudah ada.


*) Penulis adalah Warek III Ikopin University, Ketua Umum IMFEA dan ADEKMI.

Copyright © ANTARA 2024