Sana`a (ANTARA News) - Bulan Ramadhan bukan saja disyariatkan untuk berpuasa dari makan dan minum, akan tetapi juga melatih bersabar dan mengendalikan diri. Namun, ironisnya di Saudi Arabia, pada bulan puasa ini dilaporkan angka kemarahan justru meningkat dibandingkan bulan-bulan lain. Penelitian seorang ahli jiwa negeri kaya minyak, yang dipublikasikan harian Al-Madinah, Kamis (28/9), memperlihatkan kecenderungan peningkatan angka kemarahan di masyarakata Arab, baik laki-laki maupun perempuan. Di kalangan pria Arab, jika pada bulan biasa tidak lebih dari 40 persen yang marah, saat bulan Ramadhan meningkat hampir dua kali lipat menjadi sekitar 70 persen. Kaum hawa yang biasanya lebih penyabar dan bisa menahan diri, pada bulan Ramadhan nafsu amarahnya juga cenderung naik. Di bulan lain, wanita Arab Saudi yang "naik pitam" setiap hari rata-rata hanya 30 persen, tetapi di bulan suci ini amarah di kalangan perempuan Arab naik menjadi 55 persen. "Angka kemarahan di kalangan pria lebih tinggi dari wanita termasuk di bulan puasa, terutama pada kalangan pria perokok. Karena mereka berhenti merokok di siang hari, dan itu membuat zat nikotin di otak meningkat," kata Dania Naji Kabli. Menurut wanita ahli jiwa dan sosial terkemuka di Jazirah Arab itu, pengeluaran zat enzim dari saraf kemarahan pria lebih banyak ketimbang wanita disamping ketegangan pria lebih besar dibandingkan wanita. Bentuk kemarahan selama bulan puasa tidak mesti berupa perkataan keras dan kasar, tapi juga dapat dilihat dari gerak gerik yang mengungkapkan suatu kemarahan, lanjut Dania lagi. Para ulama syariat mengingatkan para pemarah agar mengurangi kebiasaan jelek itu di bulan suci, bukan malah sebaliknya. "Apapun bentuk kemarahan tersebut, dapat mengurangi pahala puasa, apalagi bila kemarahan dibarengi umpatan dan fitnah yang dapat membatalkan puasa," kata seorang ulama syariat (ahli fiqh) mengingat para shoim (ahli puasa). (*)
Copyright © ANTARA 2006