Kami masih menunggu gebrakan apa yang akan dilakukan Presiden dan Wakil Presiden terpilih nanti, dalam kebijakan pengendalian tembakau dan rokok
Jakarta (ANTARA) - Senior Advisor Center of Human Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta (CHED ITB-AD) Mukhaer Pakkanna mengatakan bahwa pemerintahan baru penting untuk mencantumkan pengaturan atau kebijakan pengendalian tembakau.

"Kami masih menunggu gebrakan apa yang akan dilakukan Presiden dan Wakil Presiden terpilih nanti, dalam kebijakan pengendalian tembakau dan rokok. Terus terang kami sangat khawatir, karena kebijakan ini terkait juga dengan bonus demografi dan cita-cita Indonesia Emas,” kata Mukhaer melalui keterangan resminya di Jakarta, Kamis.

Hal tersebut dikarenakan pemerintah belum menitik terangkan pengendalian tembakau dan rokok pada pemerintahan mendatang, sehingga membuat sejumlah aktivis atau pegiat pengendalian tembakau merasa khawatir.

Dengan begitu, pihaknya memberikan beberapa langkah yang kongkret untuk pemerintah terpilih nantinya dapat digunakan untuk pengendalian tembakau yang lebih efektif pada akhir tahun 2024 ini.

"Diperlukan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang lebih signifikan, termasuk untuk rokok elektronik dan tembakau iris, serta kenaikan harga jual eceran (HJE) minimal 25 persen per tahun untuk semua jenis rokok. Selain itu, struktur tarif CHT perlu disederhanakan menjadi 5 lapisan, kemudian 3 lapisan," kata Mukhaer.

Baca juga: Industri tembakau alternatif pertanyakan aturan kemasan polos
Baca juga: Anggota DPR soroti kebijakan kemasan polos tanpa merek produk tembakau


Dia juga merekomendasikan revisi ketentuan pengawasan harga transaksi pasar menjadi 100 persen dari harga jual eceran yang ditetapkan. Desain ulang pita cukai agar tidak menutupi Peringatan Kesehatan Bergambar atau memberlakukan Digital Stamp juga dinilai penting, di samping integrasi pemantauan harga transaksi pasar rokok dengan kementerian dan lembaga terkait lainnya.

"Tantangan ini harus segera dijawab oleh pemerintah berikutnya agar masa depan Indonesia, terutama dalam konteks bonus demografi, tidak tergadai oleh kepentingan industri rokok," lanjut Mukhaer.

Mukhaer Pakkanna juga menyatakan bahwa tingginya prevalensi perokok anak dan masyarakat miskin merupakan salah satu indikasi belum maksimalnya pengendalian tembakau di Indonesia.

Sehingga, dirinya menilai bahwa Indonesia perlu segera meratifikasi konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau (FCTC). Implementasi kebijakan terkait kawasan tanpa rokok (KTR) yang juga sudah ditetapkan dalam RPJMN, memperketat akses rokok oleh anak-anak dan remaja, termasuk memperbesar peringatan kesehatan pada bungkus rokok.

Dia juga menyoroti masih adanya campur tangan industri rokok dan program tanggung jawab sosial (CSR) yang masih masif.

"Indeks gangguan industri tembakau di Indonesia mencapai 84 poin, menandakan kuatnya intervensi industri rokok dalam mencegah pengendalian yang lebih ketat, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif," katanya menambahkan.

Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok tertinggi di Asia Tenggara, mencapai 65,7 juta orang, dengan 67 persen di antaranya berasal dari kelompok masyarakat miskin.

Baca juga: DPN APTI: PP 28/2024 matikan ekonomi petani tembakau
Baca juga: Asosiasi industri produk tembakau minta pemerintah revisi PP Kesehatan


Pewarta: Chairul Rohman
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024