Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Republik Indonesia (RI) melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berharap gempa dan tsunami di Samudera Hindia yang melanda sejumlah negara 20 tahun silam membawa pengaruh negara-negara anggota ASEAN untuk lebih tangguh bencana.
Kepala BNPB Suharyanto mengatakan bahwa dengan merefleksikan tragedi gempa dan tsunami tersebut maka kerja sama dan solidaritas antarnegara menjadi salah satu modal penting dalam upaya menciptakan ketangguhan menghadapi potensi serupa di masa depan.
"Melalui kerja sama antarnegara dapat membangun kawasan yang lebih tangguh, yang tidak hanya siap menghadapi bencana, tetapi juga mampu bangkit lebih kuat setelahnya," katanya saat menjadi pembicara dalam Global Forum for Sustainable Resilience (GFSR) 2024 dan pameran Asia Disaster Management and Civil Protection Expo, and Conference (ADEXCO) di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (11/9).
Ia menjelaskan forum internasional yang diikuti delegasi dari 10 negara ASEAN dan melibatkan kalangan praktisi, pelaku usaha bidang kebencanaan, hingga ilmuwan global tersebut, turut mempersiapkan berbagai aspek ketangguhan menghadapi bencana.
Misalnya, katanya, penyediaan teknologi inovasi sistem pendeteksi gempa dan tsunami yang akurat, terintegrasi, hingga upaya pembentukan keterampilan masyarakat dan tata kelola pembangunan kawasan yang berkelanjutan.
Baca juga: BNPB ajak negara ASEAN kedepankan kearifan lokal mitigasi bencana
Gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia yang terjadi pada Desember 2004 dirasakan dan menimbulkan kerusakan yang besar di 14 negara, termasuk di Indonesia, Thailand, Malaysia, Myanmar hingga negara di Asia Selatan dan Afrika Timur.
Sejarah mencatat peristiwa itu mengakibatkan lebih dari 227 ribu orang meninggal, lebih dari 45 ribu orang dinyatakan hilang, dan puluhan ribu orang lainnya luka-luka.
Sejumlah ilmuwan menilai terbatasnya akses informasi kebencanaan, dan belum adanya sistem pendeteksi gempa dan tsunami yang memadai turut mempengaruhi besarnya dampak yang ditimbulkan kala itu.
Merespons kondisi tersebut, ia mengatakan bahwa sejarah bencana masa lalu itu telah mendorong Indonesia terus berupaya menyempurnakan kecanggihan teknologi dan memadukannya dengan kearifan lokal masyarakat untuk memitigasi risiko bencana.
Adapun teknologi yang dimaksud berupa sistem peringatan dini atau early warning system (EWS) berbasis sensor, dan Tsunami Early Warning System (InaTEWS) yang pengendaliannya dilakukan oleh BNPB bersama Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
"Kita perlu memastikan jika tragedi tersebut terjadi lagi kita siap dan tangguh menghadapinya, dan juga mampu membangun masa depan yang lebih aman," ujarnya.
Hal serupa juga diungkapkan dalam kesempatan yang sama oleh Ketua Komite ASEAN Untuk Manajemen Bencana sekaligus Direktur Nasional Pusat Pengelolaan Bencana Negara Brunei Darussalam, Kolonel (Rtd) Muhd Harrith Rashidi Bin Haji Muhd Jamin.
Ia mengatakan negara-negara ASEAN akan belajar terus dari bencana masa lalu tersebut untuk meningkatkan sistem penanggulangan bencana.
Bahkan, pihaknya mendorong melalui forum seperti GFSR dan ADEXCO dapat melahirkan peta jalan mitigasi bencana regional yang lebih baik dari sebelumnya, salah satunya menyangkut bidang pemanfaatan sistem peringatan dini yang terintegrasi.
Baca juga: UNDRR sebut Indonesia berpeluang jadi pusat studi kebencanaan global
Baca juga: Ini 10 tips menghadapi gempa megathrust di Jakarta
Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024