Jakarta, (ANTARA News) - Indro Sugiarto, Direktur ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), mengatakan PT. Newmont Minahasa Raya terbukti telah mencemari Desa Buyat Pantai dan Desa Ratatotok, Kecamatan Ratatotok Timur, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. "Kalau formil dari sini (melihat matriks proses sidang yang dibuat oleh ICEL), dakwaan itu terbukti. Dakwaan bisa dibuktikan oleh jaksanya, tetapi kita hanya menilai sebagai orang luar yang tidak punya kapasitas apapun untuk mempengaruhi proses (persidangan) ini," kata Indro dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), di Jakarta, Rabu. Menurut dia, Newmont berpeluang terbukti melakukan kejahatan korporasi dan lingkungan hidup. "Jadi kejahatan korporasi terbukti, karena masuk dalam barangsiapa, itu ada semua. Unsur substansi dia (terdakwa) melawan hukum secara melawan hukum, dia melawan apa saja," katanya. Semisal, yang paling diperdebatkan saat ini adalah soal SK 1456 (SK MenLH/Bapedal/1456/bapedal/ 07/2000), ujar dia. "Setelah kami teliti betul, karena SK 1456 menurut mereka (PT NMR) adalah izin oleh pihak yang satu, pihak yang lain (jaksa) menganggap itu bukan izin. Semakin kami cermati betul kesaksiannya Sony Keraf (mantan Menneg Lingkungan Hidup) dipersidangan, ternyata dia tidak mengatakan izin," kata Indro dan menambahkan, "Banyak pengacara mereka (PT NMR) mengatakan itu izin sementara, tetapi ternyata tidak." Bahasanya Sony, lanjut dia, saat itu dalam surat adalah agar dalam waktu enam bulan Newmont membuat ERA (Environmental Risk Assesment) atau perkiraan risiko lingkungan. "Jadi ada surat dari Newmont mengajukan permohonan izin untuk membuang tailing, dijawab oleh Sony Keraf dalam waktu enam bulan saudara harus membuat studi ERA, tapi kemudian ditafsir oleh pihak Newmont bahwa SK 1456 berarti izin membuang limbah selama enam bulan, namun kemudian dibuktikan lagi oleh Newmont, mereka ingin memperoleh izin tetap untuk kepentingan usaha," ujarnya. Itu artinya, kata Indro, dari dua surat tersebut terbukti bahwa pembuangan (tailing) itu tidak punya izin sampai terjadinya dugaan pencemaran. "Yang menilai ERA Newmont `kan satu tim gabungan dari KLH, ESDM dan macam-macam. Dan tim menyimpulkan ERA itu tidak sesuai dengan postulat atau protokol sehingga kemudian ditolak. Lantas akan dibentuk tim kerjasama tapi sampai kejadian ini selesai, tidak pernah terealisasi," kata Indro. Menyinggung kinerja hakim dan jaksa dalam persidangan, Indro mengatakan, "Kita hanya melihat dari rekaman sidang dari awal sampai akhir, memang ada beberapa persoalan cara menggali kebenaran materiil ... nah itu juga baik di kalangan jaksa maupun di kalangan hakimnya. Tetapi memang ini sangat bergantung pada di mana dia mengajukan argumentasinya." "Saya berkeyakinan argumentasinya tidak hanya sekedar nilai, ketahuan kok, ada argumentasi yang berbelok, argumentasi yang tidak valid, karena argumentasi putusan `kan sebetulnya standar. Kalau A=B=C, maka A=C, tetapi variasinya berbelok," kata dia. Kalau secara umum, masih kata dia, kinerja penegak hukum secara formal - syarat-syarat formal beracara - dari hakim sudah sesuai, ada beberapa variasi misalnya pemeriksaan lapangan, ada kemungkinan diberikan, akan tetapi prosedur dan proses diberikan itu yang masih banyak catatan. Seperti yang diungkapkan Jatam, ada salah satu pihak yang menggunakan fasilitas yang berperkara, itu jelas tidak benar. "Kalau ada pernyataan dari hakim yang cenderung menunjukkan keberpihakan, indikasi keperpihakan, itu tidak boleh. Hakim harus impersial," kata Indro. Sementara itu, menyoal adanya keluhan mengenai para hakim yang tidak mempunyai wawasan masalah hukum lingkungan, Indro mengatakan pihaknya telah mengadakan sertifikasi pelatihan terhadap hakim. "Sebenarnya kalau dalam kasus ini kami telah berusaha untuk melakukan sertifikasi. Jadi kami melakukan pelatihan, kemudian kami berharap para hakim yang menangani kasus lingkungan yang punya sertifikat. Saya melihat para hakim yang menangani kasus ini (sidang Newmont) ada yang sudah memegang sertifikasi lingkungan," katanya. Indro mengatakan, bila putusan hakim tidak adil, maka putusan dapat dieksiminasi, artinya dapat dikaji oleh publik. "Semua putusan terbuka, jadi pertimbangan apapun pasti nanti menjadi kajian di mana-mana, menjadi eksiminasi oleh siapapun, misalnya yang menyusun skripsi, thesis, pasti akan banyak sekali dan itu akan mendetil. Artinya kalau pertimbangan, kalau argumentasi si hakim lemah, akan terhukum dalam tanda kutip oleh penelitian-penelitian ini. Itu yang mereka (para hakim) harus berpikir jauh, dan (dampak) itu bisa bertahun-tahun," katanya. Pembacaan tuntutan oleh JPU akan berlangsung pada 6 Oktober mendatang.(*)
Copyright © ANTARA 2006