Sekarang, anak-anak ke sekolah juga sudah mandi pagi, sudah sarapan pula
Jakarta (ANTARA) - Mata Paulus Jaka Dana tampak berbinar siang itu di pengujung Agustus 2024. Pria yang mengajar di SMA Taman Siswa Tanjung Karoso, Kabupaten Sumba Barat Daya, bercerita dengan gembira bahwa anak didiknya sudah tidak perlu bolos sekolah lagi karena harus mengambil air bersih.

Desa Homba Rica, Kecamatan Kodi, Nusa Tengara Timur, tempat sebagian besar murid Paulus tinggal, memiliki sumber air bersih baru pada 2024, yang didapatkan dari pembuatan penampungan air hujan (PAH).

Sebelum ada PAH, para siswa yang tinggal di Desa Homba Rica dan sekitarnya, kerap tidak masuk sekolah lantaran membantu orang tuanya mengambil air ke sungai terdekat, yang berjarak sekitar 7 kilometer dari tempat tinggal mereka.

Dengan berjalan kaki, penduduk desa tempat 423 keluarga bernaung itu, setiap hari menghabiskan 2--3 jam untuk mendapatkan 10 liter air bersih demi memenuhi kebutuhan keluarga.

Bahkan tak jarang, pengambilan air dilakukan warga sebanyak dua kali dalam satu hari, sejak pukul empat pagi.

Pria yang merupakan guru mata pelajaran Olahraga ini mengungkapkan, setelah ada fasilitas PAH, para siswanya bisa datang ke sekolah lebih sering dan tepat waktu.

"Sekarang, anak-anak ke sekolah juga sudah mandi pagi, sudah sarapan pula," kata dia.

Sulitnya akses pada air bersih juga dialami warga Desa Ate Dalo, yang masih termasuk di wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT.

Markus, Anggota Komite Air di Ate Dalo, memaparkan warga desa tersebut dahulu harus berjalan ke sebuah gua sekitar 3 kilometer, untuk mendapatkan air jernih yang bisa dikonsumsi.

Perjuangan pun belum berakhir saat sampai gua. Warga masih harus masuk sekitar 18 meter ke dalam, dengan dibantu penerangan dari cahaya obor, untuk sampai ke sumber air.

"Sekali ambil hanya bisa dua liter jeriken per orang," ungkap Markus.

Dengan air 2 liter itu, diperkirakan setiap orang di rumah hanya bisa meminum dua sampai tiga gelas air dalam sehari. Apalagi, rata-rata pasangan di Desa Ate Dalo memiliki lima hingga tujuh anak.

Untuk menyiasati kelangkaan air, Markus mengaku mengajarkan anak-anaknya mencuci muka dengan air embun dari daun keladi atau batang pisang.

"Semenjak ada PAH dan sumur bor, air bisa dipakai buat persediaan tiga hari," kata bapak dengan lima anak itu.

Keberadaan sumber air tersebut mampu menyejukkan sebagian warga Sumba Barat Daya yang sebelumnya mengalami krisis air bersih.


Tekan kasus stunting

Menurut data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), balita di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) yang teridentifikasi stunting pada 2022 mencapai 13.150 kasus.

Jumlah tersebut merupakan 44,28 persen dari total jumlah anak yang mengalami kekerdilan di NTT. Tingginya angka itu turut menjadikan kabupaten di wilayah barat Pulau Sumba ini, sebagai daerah prioritas intervensi stunting oleh Pemerintah.

Sebagai salah satu rekomendasi penekanan kasus stunting, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sumba Barat Daya menilai perlu ada peningkatan edukasi terkait perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

Berpegang pada data tersebut, Wahana Visi Indonesia (WVI) sejak 2023 mulai mengambil peran untuk mengintervensi masalah kerentanan kesehatan yang terjadi di SBD dengan menghadirkan kebutuhan vital, yakni air.

Organisasi kemanusiaan yang fokus dalam pemberdayaan anak, keluarga, dan masyarakat rentan ini menumbuhkan kebiasaan hidup bersih, melalui pembangunan tiga sumur bor dan 32 PAH di lima desa yang ada di SBD, termasuk sumber air yang dimanfaatkan Desa Homba Rica dan Ate Dalo.

Area Manager Program Sumba WVI Ventia Sabathini Wardoyo menjelaskan masyarakat SBD sebenarnya sudah banyak yang memahami soal PHBS. Namun, pengembangan higienitas itu terkendala dengan ketersediaan fasilitas air bersih.

Selain mengambil langsung dari sumber air--sebelum ada sumur bor--masyarakat SBD terbiasa membeli air dari pedagang yang memiliki fasilitas PAH mandiri.

Setiap 6.000 liter dijual dengan harga Rp150.000 sampai Rp200.000. Bagi yang tidak mampu, bisa membeli sebanyak 5 liter, seharga Rp2.000.

Namun, ketika ada persediaan air bersih, kebanyakan masyarakat lebih memprioritaskan pemanfaatannya untuk minum dan buang hajat.

Air bersih jarang digunakan untuk mandi. Masyarakat setempat juga lebih memilih berganti pakaian 2 hari sekali.

Bahkan, saking sayangnya menggunakan air, sayur dan buah pun luput dicuci sebelum dikonsumsi. Mungkin pula tak terpikirkan bagi masyarakat setempat untuk membuat sanitasi yang layak.

Melihat kebiasaan-kebiasaan ini, wajar saja kasus diare, demam berdarah, dan malaria silih berganti menyerang warga SBD.

Akibatnya, kesehatan kandungan ibu hamil menjadi rentan. Pemenuhan gizi dan berat badan balita pun jadi fana. Kasus stunting di SBD sudah pasti sulit dikendalikan.

Untuk itu, penyediaan fasilitas sumber air bersih bagi desa di SBD, menjadi harapan baru bagi kestabilan kesehatan penduduknya.


Pendampingan

Bupati Sumba Barat Daya Kornelius Kodi Mete mengungkapkan sebenarnya pemerintah daerah sudah mengambil peran untuk menyediakan fasilitas air di desa-desa SBD. Program itu dikenal dengan "Desa Berair".

Sebanyak 50 persen penduduk di SBD hingga 2024 disebut telah memiliki sarana penyedia air bersih, salah satunya dari hasil penerapan program Desa Berair ini.

Akan tetapi, banyaknya sumur maupun PAH yang sudah dihadirkan oleh pemda serta swasta masih belum signifikan memperbaiki kualitas hidup masyarakat SBD, lantaran pemanfaatan air bersih ini belum optimal.

"Warga tidak pakai air itu untuk siram tanaman sayur-sayuran, tidak kasih air minum ke ternak. Padahal kan ternaknya bisa bertumbuh kembang dan jadi sumber protein," kata Bupati Kornelius Kodi.

Tantangan lainnya juga ditemukan pada sikap beberapa kelompok yang tidak bertanggung jawab. Oknum-oknum tersebut dikenal kerap merusak sarana air bersih di desa lain.

Alasannya, penyediaan air di wilayahnya tidak didahulukan sebagaimana dilakukan di desa-desa sekitarnya.

"Kecemburuan sosial masih ada di beberapa kalangan. Itu jadi tantangan bagi keberlanjutan persediaan air di sini," jelas Area Manager Program Sumba WVI Ventia.

Melihat sejumlah masalah yang bertaut ini, organisasi sosial itu juga mengadakan pendampingan masyarakat agar penggunaan air tidak berhenti hanya untuk mandi dan mencuci saja.

Salah satu inisiatif lembaga itu kemudian melibatkan para tokoh masyarakat di desa-desa SBD untuk menjadi komite air. Bukan tanpa alasan, suara para tokoh tentu akan lebih didengar oleh warga.

Tokoh-tokoh ini juga memiliki tugas menjaga fasilitas air serta sebagai negosiator saat konflik terkait ketersediaan air terjadi di wilayah tersebut.

Para komite air tersebut turut diedukasi soal pemanfaatan dana desa dari Pemerintah. Hal ini agar penggunaan dana tersebut dapat ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat setempat.

Sementara dari sisi peningkatan kualitas hidup masyarakat, organisasi mitra Pemerintah ini memprakarsai kegiatan kelas gizi yang akan dilaksanakan hingga 2034.

Kelas gizi merupakan wadah untuk mendiseminasikan kandungan makanan yang bermanfaat bagi keluarga dan melibatkan para ibu serta remaja di SBD.

Editor: Achmad Zaenal M
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024