Jakarta (ANTARA) - Praktik pengawetan makanan sudah dilakukan masyarakat sejak zaman dahulu. Salah satu metode yang dikembangkan pada saat itu adalah proses fermentasi yang memanfaatkan berbagai macam mikrooganisme.

Metode pengawetan makanan tersebut masih banyak dipakai hingga saat ini, baik oleh masyarakat umum maupun industri.

Indonesia memiliki berbagai macam makanan hasil fermentasi seperti tempoyak (fermentasi durian), dadih (susu fermentasi khas Minang), tapai, hingga terasi. Salah satu makanan fermentasi yang dapat dijumpai di Sumatera Selatan yaitu Kembuhung, kuliner khas Suku Besemah di Kota Pagar Alam.

Kembuhung biasanya terbuat dari ikan sungai seperti ikan semah, ikan nila dan ikan mujair yang difermentasi dengan menambahkan nasi dan sedikit garam, serta didiamkan selama 7 hari dalam wadah yang tertutup rapat.

Selain itu, kembuhung dapat pula dibuat dari kerang air tawar dan tulang maupun daging sisa yang tidak habis dimakan. Cita rasa yang dihasilkan tidak terlalu berbeda. Kembuhung yang dibuat dari kerang maupun daging rasanya lebih gurih dibandingkan kembuhung berbahan dasar ikan.

Pembuatan kembuhung dari sisa-sisa daging ataupun tulang tersebut sangat bermanfaat dalam mengoptimalkan penggunaan bahan makanan karena mendukung gerakan zero food waste yang kini banyak digaungkan.

Sebagai makanan hasil fermentasi, kembuhung memiliki bau khas yang sangat kuat. Selain itu, proses fermentasi yang melibatkan nasi dan ikan atau daging sisa tersebut menghasilkan tekstur dan warna yang kurang menarik, sehingga makanan tersebut sering kali disebut sebagai “nasi basi” oleh sebagian masyarakat.

Namun demikian, bagi para pecinta kembuhung, bau khas yang kuat tersebut merupakan salah satu alasan utama mengapa mereka menyukai kembuhung. Setelah dimasak dengan berbagai macam bumbu, aroma khas tersebut sangatlah menggoda selera dan menggoyang lidah para penggemarnya.

Sama halnya dengan ikan asin, ketika seseorang memasak kembuhung, aroma khasnya akan tersebar di sekitar rumah tersebut. Hal inilah yang mengundang rasa lapar bagi para pecintanya. Cita rasa asam dan gurih yang dipadukan dengan aroma khas tersebut dipercaya sebagai peningkat nafsu makan.

Selain itu, ikan maupun daging yang difermentasi bersamaan dengan nasi tersebut memiliki tekstur yang sangat lembut dan lunak, sehingga sangat mudah untuk dimakan.

Pengawet alami dalam kembuhung

Seperti makanan fermentasi lainnya, kembuhung dibuat melalui proses fermentasi yang melibatkan berbagai macam bakteri yang secara alami terdapat di dalam bahan-bahan yang digunakan. Mikroorganisme tersebut dikenal sebagai Bakteri Asam Laktat atau BAL, seperti Lactobacillus. BAL merupakan kumpulan bakteri yang mampu menghasilkan senyawa asam yang menghasilkan bau khas produk makanan hasil fermentasi.

Cairan asam yang dihasilkan dari proses fermentasi tersebut mempunyai kemampuan mengawetkan bahan makanan dengan baik. Senyawa asam dengan pH (derajat keasaman) 3 hingga 4 tersebut dapat mencegah pertumbuhan bakteri patogen atau penyebab penyakit pada bahan makanan. Sehingga, bahan makanan yang difermentasi tersebut aman dari bakteri patogen.

Kembuhung tentu saja aman dikonsumsi manusia, sama seperti produk makanan fermentasi lainnya, seperti yoghurt dan keju, semuanya diawetkan dengan menggunakan mikroorganisme yang baik bagi tubuh, yaitu mikroorganisme yang tidak menghasilkan racun dan tidak menginfeksi tubuh. Dengan kemampuan tersebut, mereka dapat dimanfaatkan sebagai pengawet makanan alami pengganti pengawet makanan berbahaya seperti formalin.


Manfaat bagi kesehatan

Sebagai probiotik, Bakteri Asam Laktat tidak hanya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet makanan alami (food preservatives). Bakteri Asam Laktat yang tumbuh subur di dalam kembuhung juga menghasilkan berbagai macam senyawa antibakteri atau antimikroba seperti bakteriosin. Bakteriosin merupakan senyawa yang dapat menghambat bahkan menghalangi pertumbuhan bakteri patogen, sehingga sangat baik dalam mempertahankan kekebalan tubuh dari serangan berbagai macam sumber penyakit.

Apalagi pada saat ini, berbagai macam kasus resistensi antibiotik telah banyak dilaporkan dan sangat meresahkan dunia kesehatan. Sehingga, bakteriosin dapat dimanfaatkan sebagai sumber antibiotik alami yang lebih aman bagi tubuh.

Bakteriosin juga telah banyak dilaporkan dapat menurunkan kadar kolesterol di dalam tubuh, dapat pula menurunkan produksi enzim Angiotensin Converting Enzyme sehingga dapat menurunkan tekanan darah.

Bahkan, seperti yang dilaporkan oleh Joseph dkk pada tahun 2013, bakteriosin dapat digunakan dalam melawan bakteri-bakteri patogen pada luka penderita diabetes.


Manfaat bagi ketahanan pangan

Sebagai makanan yang biasanya dibuat dari sisa-sisa nasi dan ikan ataupun daging yang tidak habis dikonsumsi, kembuhung sangat bermanfaat dalam mengurangi laju akumulasi limbah makanan di lingkungan.

Berdasar kajian badan pangan dunia World Food Program, tingginya akumulasi limbah makanan berkorelasi dengan tingkat kelaparan yang terjadi di dunia. Bahkan, jika dikonversi, total kehilangan makanan akibat pembuangan makanan secara global mencapai 1 triliun dolar AS, atau lebih dari Rp15.000 triliun.

Gerakan zero food waste diharapkan mampu menurunkan laju pembuangan makanan tersebut. United Nations juga menyebutkan bahwa pengurangan limbah makanan dapat menurunkan tingkat kelaparan di dunia.

Kembuhung bukan hanya suatu warisan produk pangan dari leluhur, tetapi juga merupakan sumber kekayaan ilmu. Jika dikaji secara sains, pembuatan kembuhung yang telah dilakukan oleh nenek moyang tersebut merupakan suatu bentuk aplikasi dari bioteknologi pangan. Meskipun pada zaman dahulu mereka belum mengenal Bakteri Asam Laktat maupun mengenal tentang bioteknologi, mereka telah mampu menciptakan teknik pengolahan bahan makanan dengan menerapkan prinsip-prinsip bioteknologi sederhana.

Namun demikian, makanan fermentasi satu ini sudah cukup sulit ditemukan. Bahkan, sangat sulit menemukan rumah makan di Sumatera Selatan, khususnya Kota Pagar Alam, yang menyediakan olahan kembuhung. Kembuhung hanya dibuat oleh individu tertentu yang biasanya masyarakat pedesaan dan tergolong sudah berumur.

Lalu bagaimana dengan generasi muda? Sebagian besar tidak mengenal makanan tradisional ini. Jika pun mereka mengenal makanan tersebut, sebagian besar tidak menyukainya dan lebih menyukai makanan fermentasi dari negara lain, seperti kimchi. Bukan tidak mungkin, dengan derasnya arus globalisasi yang terjadi, makanan khas warisan nenek moyang ini akan hilang.

Sehingga perlu adanya program sosialisasi maupun improvisasi produk olahan kembuhung agar dapat diterima oleh masyarakat umum terutama generasi muda. Improvisasi tersebut meliputi pengolahan produk akhir, cita rasa, warna, hingga bau yang harus disesuaikan dengan keadaan pasar.

Diharapkan adanya program peningkatan nilai produk olahan kembuhung tersebut akan berguna untuk mendukung gerakan zero food waste demi mengurangi limbah makanan di lingkungan.

*) Angga Puja Asiandu, S.Si., M.Sc adalah Mahasiswa Program Doktoral, Fakultas Biologi, UGM

Copyright © ANTARA 2024