Perolehan 76,30 persen partisipasi pemilih di NTT pada Pemilu legislatif meleset dari target KPU NTT yang mematok tingkat partisipasi pemilih di daerah setempat dalam pemilu legislatif (Pileg) pada 9 April 2014 sebesar 80 persen,"

Kupang (ANTARA News) - Ketua Komisi Pemilihan Umum Nusa Tenggara Timur, Johanes Depa mengatakan tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu legislatif 2014 di daerah berbasis kepulauan itu mencapai 76,30 persen atau melampaui target yang ditetapkan secara nasional 75 persen.

Tingkat pencapaian menandakan bahwa hanya sekitar 2,3 juta lebih warga yang terdaftar sebagai pemilih dalam DPT yang melaksanakan hak politiknya dan sekitar 721.769 pemilih yang terdaftar tidak menggunakan hak pilihnya dengan berbagai alasan, katanya di Kupang, Sabtu.

Diantaranya karena masuk dalam daftar golongan putih, karena sakit dan sebab lainnya, sehingga target 80 persen partisipasi yang dipatok KPU NTT tidak tercapai.

"Perolehan 76,30 persen partisipasi pemilih di NTT pada Pemilu legislatif meleset dari target KPU NTT yang mematok tingkat partisipasi pemilih di daerah setempat dalam pemilu legislatif (Pileg) pada 9 April 2014 sebesar 80 persen," katanya.

Selain karena sejumlah faktor penyebab itu (Golput, sakit atau bahkan pindah alamat karena kerja, sosialisasi pemilu masih belum maksimal dilakukan meskipun telah dilakukan secara berjenjang.

"Telah diupayakan maksimal, baik oleh KPU NTT maupun "stake holder" lainnya secara masif melalui berbagai media (liflet, borsur, koran dan radio serta televisi), namun yang diharapkan adalah frame sosialisasi dari muka ke muka, KPU mengakui ada keterbatasan untuk melakukan hal itu.

Ia menilai capaian partisipasi pemilu 76,30 persen merupakan buah dari sosialisasi yang dilakukan baik oleh KPU maupun kontribusi pihak lain di NTT.

"Sebagai pimpinan KPU NTT, kami menyadari masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan Pemnilu legislatif ini di daerah ini, sehingga pihaknya akan terus berupaya agar dalam Pilpres Juli nanti, berbagai kekurangan dapat dibenahi baik dari persiapan KPU sendiri maupun penyelenggara mulai dari KPS hingga KPUD kabupaten/kota setempat.

Dalam perspektif lain, katanya, pada Pilkada di beberapa kabupaten/kota di NTT nampak bahwa Pemilu semakin tak digandrungi warga yang menetap di Kota karena aktivitas politik itu dalam aras teori maupun praktik dinilai berisiko tinggi dan kurang berdampak ekonomis.

"Pandangan seperti ini yang kemudian menimbulkan apatisme masyarakat kota dalam pelaksanaan pemilihan umum baik Pilkada, Pileg maupun pemilihan presiden, sehingga munculah pemilih golongan putih (Golput) yang berkonsekuensi langsung terhadap banyaknya warga yang kemudian tidak menggunakan kesempatan itu," katanya.

(KR-HMB/M019)

Pewarta: Hironimus Bifel
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014