Bentrokan di utara kota Timbuktu melibatkan separatis dan terduga anggota Gerakan Kesatuan dan Jihad di Afrika Barat (MUJWA)...
Bamako (ANTARA News) - Sembilan orang tewas dalam bentrokan di Mali bagian utara, antara muslim garis keras dengan suku Tuareg pada pekan ini, kata beberapa sumber separatis dan militer, Jumat.
Bentrokan di utara kota Timbuktu melibatkan separatis dan terduga anggota Gerakan Kesatuan dan Jihad di Afrika Barat (MUJWA)--sebuah kelompok terkait Al Qaida-- kata seorang juru bicara separatis dan dua sumber militer yang menolak disebutkan namanya.
"Bentrokan telah berakhir. Gerilyawan MNLA telah kembali ke Kidal. Kami menahan tujuh orang dan membunuh sembilan musuh," kata Akay Ag Mohamed, juru bicara separatis Gerakan Nasional bagi Pembebasan Azawad (MNLA).
Sementara juru bicara misi militer PBB di Mali, Minusma mengatakan, ia telah diberi tahu mengenai bentrokan itu namun menolak memberikan pernyataan terinci lebih lanjut. Demikian diberitakan Reuters.
Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.
Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi markas baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.
Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.
Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.
Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.
Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari 2013 meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.
Pasukan Prancis menurunkan jumlah prajuritnya di Mali dari sekitar 5.000 pada puncaknya menjadi 1.000. Pasukan penjaga perdamaian PBB mengambil alih keamanan pada Juli tahun lalu dari misi militer Afrika yang mendukung pasukan Prancis.
(M014)
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014