Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis kejiwaan dari Rumah Sakit (RS) Soeharto Heerdjan Willy Steven mengatakan narasi seputar bunuh diri perlu diubah, seperti tema Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia 2024, guna memahami dan mencarikan solusi bagi mereka yang berniat bunuh diri.

Dalam siaran oleh Kementerian Kesehatan di Jakarta, Selasa, Willy mengatakan bahwa tema Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia 2024 oleh WHO adalah "Changing the Narrative on Suicide".

Menurut dia, selama ini orang-orang merasa bahwa berbicara tentang bunuh diri adalah sesuatu yang tabu, karena hal tersebut hanya menambah beban pikiran dan mendorong orang untuk bunuh diri.

"Dengan membuka percakapan sebenarnya waktu kita menanyakan kepada orang-orang yang lagi berpotensi untuk bunuh diri terkait ide-ide bunuh diri yang dimilikinya itu kadang-kadang membuat dia jadi release. Dia ngerasa dipahami. Bahwa saya sekarang lagi kondisi tidak baik-baik saja," katanya.

Baca juga: Kemenkes ajak masyarakat kolaborasi cegah bunuh diri

Dia mengatakan, dengan memahami masalah sejak awal, maka orang itu akan dapat ditangani lebih cepat karena kebutuhannya dapat dipahami, dan orang lain dapat membantu mencarikan pendamping.

Menurut dia, bunuh diri menjadi suatu hal yang berdampak besar, baik terhadap diri sendiri, lingkungan, komunitas, keluarga, maupun ekonomi dan finansial. Dia mengutip data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menunjukkan bahwa secara global, setiap tahunnya 700 ribu orang meninggal karena bunuh diri

"Adapun dalam satu kasus bunuh diri, pada umumnya ada 20 kali percobaan bunuh diri, sehingga apabila ada 1.000 kasus bunuh diri, maka ada 20 ribu kali percobaan untuk mengakhiri hidup," ujarnya.

Baca juga: PKJN rancang peta jalan pencegahan bunuh diri

Dia menjelaskan bahwa kasus bunuh diri tidak hanya tinggi di negara-negara maju yang warganya individualistik, namun juga di kawasan Asia Tenggara. Sepertiga dari korban bunuh diri adalah orang-orang berusia produktif, yakni 15-29 tahun.

Willy menyebutkan bahwa depresi menjadi pemicu bunuh diri terbesar, namun ada juga hal-hal lain seperti gangguan kesehatan mental, terjerat utang, menderita penyakit kronis, terlibat konflik atau kekerasan, dan menjadi bagian populasi berisiko.

"Populasi yang berisiko itu, misalnya orang yang di tahanan. Kemudian kaum-kaum yang LGBT," katanya.

Baca juga: Dokter Jiwa paparkan tahapan mencegah orang terdekat bunuh diri

Dengan tema seperti itu, kata dia, diharapkan pihak-pihak yang terlibat, seperti pemerintah menjadi sadar terhadap masalah ini, dan turut serta dalam upaya pencegahan bunuh diri.

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024