Pemerintah dapat menciptakan kebijakan dan insentif yang mendukung proyek hijau, sementara sektor swasta membawa modal dan keahlian
Jakarta (ANTARA) - Pada era globalisasi dan arus modernisasi yang kian pesat, dunia tengah dihadapkan pada tantangan terbesar dalam sejarah manusia, yakni krisis iklim.

Dalam perhelatan Indonesia International Sustainibility Forum (ISF) 2024, isu ini tidak lagi terbatas pada perbincangan ilmuwan dan aktivis lingkungan, tetapi telah menjadi sorotan utama para pemimpin dunia.

Modernisasi yang dicapai lewat pembangunan industri selama satu abad terakhir ini telah meninggalkan jejak karbon yang besar. Oleh karena itu, sepatutnya semua lapisan masyarakat global saat ini sudah mulai memperbincangkan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan.


Peran penting Indonesia

Seperti halnya yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sesi pleno ISF 2024, bahwa apabila Indonesia ingin memacu ekonominya lebih jauh, maka harus tetap memastikan bahwa lingkungan tetap terjaga.

Menimbang posisi Tanah Air sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam upaya global mengurangi emisi karbon.

Di samping itu, wilayah Indonesia mempunyai salah satu hutan tropis terbesar di dunia, terutama di Pulau Kalimantan, Sumatra, dan Papua.

Hutan-hutan ini berfungsi sebagai penyerap karbon alami, menyimpan sejumlah besar karbon, dan membantu mengurangi konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer.

Namun, deforestasi yang tinggi akibat penebangan, kebakaran hutan, dan konversi lahan untuk perkebunan sawit juga turut berkontribusi signifikan dalam peningkatan emisi karbon global.

Indonesia sendiri telah menetapkan target capaian emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada 2060.

Target ambisius telah ditetapkan: penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen secara domestik, dan hingga 43,2 persen dengan dukungan internasional.

Dalam pidatonya, Bendahara Negara itu mengakui bahwa tantangan utama dalam mencapai target emisi nol bersih yaitu terletak pada faktor pembiayaan.

Memang dibutuhkan dana jumbo untuk mampu mengakomodasi semua sektor untuk memulai melaksanakan transisi menuju energi yang ramah lingkungan. Oleh karena itu, di sini pembiayaan hijau (green financing) memainkan peranan yang cukup penting.


Upaya lewat green financing

Green financing merupakan pembiayaan alternatif yang mendukung proyek-proyek yang berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan.

Pembiayaan ini diarahkan untuk proyek-proyek yang terkait dengan energi terbarukan, efisiensi energi, manajemen limbah, pengelolaan sumber daya alam, serta upaya-upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Tujuannya adalah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sambil menjaga keseimbangan ekologi.

Obligasi hijau (green bonds) contohnya, menjadi instrumen keuangan yang sering digunakan dalam green financing di Indonesia, di mana hasil dari obligasi ini digunakan untuk membiayai proyek ramah lingkungan.

Sri Mulyani mengeklaim instrumen fiskal Pemerintah semacam obligasi hijau dan biru telah berhasil menarik minat investor domestik maupun internasional.

Kemudian melalui mekanisme Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diluncurkan pada KTT G20 di Bali tahun 2022, Pemerintah bertujuan untuk mempercepat transisi menuju energi bersih.

Kabar terakhir, lewat JETP, Bank Pembangunan Amerika Serikat (US International Development Finance Corporation/DFC) menyetujui pembiayaan 1 miliar dolar atau setara Rp16,2 triliun untuk Indonesia dalam rangka percepatan menuju energi bersih.

Di antara berbagi instrumen green financing, sukuk hijau (green sukuk) bisa dibilang sebagai instrumen green financing yang paling laris di Indonesia.

Indonesia telah menjadi salah satu pionir dalam penerbitan green sukuk, yang merupakan obligasi berbasis syariah yang menarik perhatian investor internasional. Green sukuk ini mencatatkan permintaan tinggi, menarik investor dari berbagai negara, termasuk Jepang dan Inggris.

Secara global, Indonesia sudah menerbitkan green sukuk senilai 5 miliar dolar AS, sedangkan untuk SDG’s bond pada 2021 sebesar 500 juta euro.

Pun demikian, Indonesia masih harus menempuh jalan panjang dan terjal untuk mencapai target transisi energi bersih tahun 2060.

Menurut Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB), Indonesia membutuhkan investasi hijau sebesar 29,4 miliar dolar AS per tahun hingga 2030 untuk mencapai target emisi nol bersih pada tahun 2060.


Kolaborasi lintas sektor

Dalam ISF 2024, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani berkali-kali menyampaikan bahwa transisi energi tidak cukup hanya mengandalkan pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Alih-alih memakai keuangan publik, diperlukan suntikan dana para pemangku kepentingan lain.

"Kita perlu bekerja sama dengan sektor swasta dan mengundang lebih banyak dana non-publik untuk berpartisipasi dalam proyek hijau," katanya.

Lewat kolaborasi lintas sektor, Pemerintah dapat menciptakan kebijakan dan insentif yang mendukung proyek hijau, sementara sektor swasta membawa modal dan keahlian.

Kolaborasi itu dapat diberikan lewat insentif pajak kepada perusahaan yang berinvestasi dalam proyek hijau, seperti insentif untuk penggunaan energi terbarukan atau kendaraan listrik.

Subsidi juga dapat diberikan untuk mendukung industri yang berfokus pada solusi ramah lingkungan, mengurangi biaya awal yang sering kali menjadi hambatan bagi proyek hijau.


Adaptasi sebagai tantangan

Di sisi lain, PT Bank Mandiri Tbk. (Bank Mandiri), sebagai salah satu lembaga keuangan terbesar di Indonesia, juga mengambil peran penting dalam mendukung agenda hijau pemerintah.

Wakil Direktur Bank Mandiri Alexandra Askandar menekankan bahwa kolaborasi memang menjadi kunci untuk mencapai keberlanjutan global.

Bank pelat merah itu telah memfasilitasi pembiayaan hijau untuk beberapa perusahaan BUMN besar, seperti PLN dan Pertamina. Selain itu, mereka juga mendukung proyek infrastruktur hijau yang dikelola oleh perusahaan swasta.

Tantangan utama dalam pembiayaan hijau adalah pada tahap awal adaptasi ESG (environmental, social, and  governance) di Indonesia. Oleh karena itu, menurut dia, kapasitas pengembangan dan kolaborasi dengan lembaga keuangan yang lebih maju dalam penerapan ESG menjadi sangat penting.

Dalam beberapa tahun terakhir, Bank Mandiri termasuk menjadi pionir dalam memberikan green financing dalam mendukung proyek energi terbarukan.

Perseroan bekerja sama dengan lembaga internasional seperti Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam mengembangkan model ESG yang dapat diterapkan secara lokal.

Langkah ini sejalan dengan strategi nasional untuk meningkatkan partisipasi lembaga keuangan dalam proyek hijau melalui insentif keuangan yang diberikan oleh pemerintah.

Dalam hal ini, lembaga keuangan punya peran sebagai katalis dalam transisi menuju ekonomi hijau.

"Kami tidak bisa melakukannya sendirian. Kolaborasi dengan Pemerintah, regulator, dan lembaga keuangan internasional sangat penting untuk memastikan bahwa pembiayaan hijau dapat diakses oleh semua sektor," tutur Alexandra.

Pada akhirnya, keberlanjutan bukan hanya tentang mengurangi emisi, tetapi juga tentang menciptakan peluang ekonomi baru yang inklusif.

Dengan kolaborasi yang kuat antara Pemerintah, sektor swasta, dan lembaga keuangan internasional, Indonesia bertekad untuk menjadi pionir dalam green financing, membuka jalan bagi masa depan yang lebih berkelanjutan dan lebih hijau.

Editor: Achmad Zaenal M
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024