Jakarta (ANTARA) - Perhelatan akbar Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 yang berlangsung pada 5-6 September di Jakarta menjadi ajang untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu perubahan iklim dan memperkuat kemitraan global, sekaligus berbagi strategi untuk mengatasi isu tersebut.

Ancaman yang semakin besar akibat perubahan iklim menuntut upaya peningkatan perlindungan bagi masyarakat maupun lingkungan melalui kerja sama yang melibatkan semua elemen. Pada  kondisi semacam inilah diplomasi memiliki peran yang sangat penting untuk membuka kemitraan yang membuka jalan merancang strategi bersama mengatasi perubahan iklim.

Presiden Joko Widodo dalam pidato pembukaan ISF 2024 di Jakarta menyampaikan seruan untuk memperkuat kerja sama global dalam menghadapi krisis iklim dan mempercepat agenda keberlanjutan internasional.

Indonesia sangat terbuka menjalin kemitraan dengan siapa pun untuk memaksimalkan potensi bagi dunia yang lebih hijau dan untuk memberikan akses bagi energi hijau yang berkeadilan serta pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkeadilan.

Karena itu forum ISF diharapkan dapat menjadi tempat bertemunya pengetahuan, pengalaman, dan sumber daya yang dapat menjadi modal bersama dalam berkolaborasi mengatasi tantangan iklim.

Indonesia memiliki potensi energi hijau yang melimpah yang mencapai lebih dari 3.600 GW serta memiliki pembangkit tenaga listrik surya (PLTS) terapung di Cirata berkapasitas 192 MW peak. PLTS tersebut menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dan terbesar ketiga di dunia.

Indonesia juga memiliki potensi besar dalam penyerapan karbon, melalui hutan mangrove terbesar di dunia yang memiliki luas 3,3 juta hektare dan mampu menyerap karbon 8-12 kali lebih baik dibanding hutan hujan tropis.

Semua potensi tersebut tidak dapat berdampak secara signifikan terhadap percepatan penyelesaian isu perubahan iklim selagi negara-negara maju enggan menggelontorkan dana mereka untuk berinvestasi. Riset dan teknologi terbatas juga tidak akan membuat diplomasi kemitraan antarnegara berjalan mulus.

Diperlukan pendekatan yang kolaboratif dan berperikemanusiaan serta kolaborasi antara negara maju dan negara berkembang, sebab kolaborasi bukan pilihan dan kemanusiaan bukan opsi, melainkan sebuah keharusan dan kewajiban.


Diplomasi 

Diplomasi dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk membawa kepentingan negara ke tingkat tertentu, selain sebagai jembatan kemitraan antarnegara untuk mengatasi tantangan bersama terkait perubahan energi. Tanpa diplomasi, mustahil untuk mencapai tujuan dengan waktu cepat, terlebih tujuan bersama yang menyangkut perlindungan bagi masyarakat dan lingkungan.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menilai bahwa diplomasi memainkan peran yang lebih penting dalam membentuk masa depan yang lebih berkelanjutan seiring dengan perubahan energi global.

Itulah sebabnya, melalui diplomasi, Indonesia mendorong upaya berkelanjutan dan kolaboratif untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) sekaligus untuk mengimplementasikan Perjanjian Paris.

Indonesia meyakini bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan kunci menuju kemakmuran di masa depan. Namun, progres SDGs masih jauh dari jalurnya hingga pertengahan 2030 dan tingkat investasi transisi energi saat ini belum cukup memadai untuk menempatkan dunia pada jalur menuju nol emisi bersih pada pertengahan abad.

Demi mewujudkan masa depan yang berkelanjutan, Retno menegaskan tiga prioritas utama. Pertama, melakukan investasi dan membangun energi hijau.

Untuk memenuhi prioritas tersebut diperlukan dukungan teknologi dan pendanaan yang signifikan, termasuk Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diluncurkan Indonesia saat Presidensi G20 pada 2022 dan Asia Zero Emission Community (AZEC) di mana Indonesia menjadi salah satu pemrakarsa.

Dari semua inisiatif tersebut, pesan Indonesia sangat jelas, yakni kita harus memastikan bahwa teknologi hijau menjadi barang publik. Melalui ISF diharapkan Indonesia dapat bekerja sama dengan erat dengan sektor swasta dalam rangka memastikan investasi untuk pengembangan teknologi hijau yang terjangkau.

Kedua, memanfaatkan potensi besar ekonomi biru. Menurut perkiraan, ekonomi biru dapat menghasilkan lebih dari 1,5 triliun dolar AS, sekaligus membuka sekitar 30 juta lapangan pekerjaan setiap tahunnya.

Untuk membuka potensi ekonomi biru tersebut, Indonesia meluncurkan Blue Economy Roadmap 2023-2045 yang bertujuan untuk mengembangkan sektor-sektor utama, seperti akuakultur dan industri hilir perikanan guna memastikan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan upaya konservasi laut.

Menekankan untuk fokus pada penyerapan karbon menjadi prioritas ketiga dalam perjalanan menuju masa depan yang berkelanjutan.

Sebagai negara hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, Indonesia memiliki kapasitas untuk menyerap emisi dalam jumlah besar. Dengan tingkat deforestasi terendah dalam 20 tahun terakhir, dapat dipastikan Indonesia sudah berada di jalur yang benar.

Lebih lanjut, Indonesia telah mengesahkan strategi jangka panjang untuk low carbon dan climate resilience 2050 serta peta jalan untuk mencapai target net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.

Di Bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) dan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, ISF 2024 dirancang untuk mendorong kolaborasi internasional dan berbagi best practices dalam dekarbonisasi guna memperkuat upaya global menuju pembangunan berkelanjutan.

ISF disebut sebagai pertemuan aksi iklim terbesar kedua di kawasan Asia-Pasifik, setelah COP29 yang akan berlangsung di ibu kota Azerbaijan, Baku. Lebih dari 11.000 peserta terdaftar dari 53 negara menjadi bagian dari acara ISF yang berlangsung selama dua hari tersebut.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menggarisbawahi pentingnya peran Indonesia dalam memajukan keberlanjutan di kawasan. Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk mineral kritis yang dapat mempercepat transisi menuju jalur ekonomi yang lebih hijau dan bersih.

Oleh karena itulah, Indonesia menggelar ISF 2024 dan ke depannya forum tersebut dapat menjadi "The Davos for Sustainability" di Asia-Pasifik, sekaligus menjadi wadah untuk berbagi pengetahuan, pengalaman dan sumber daya guna menghadapi tantangan bersama.

Indonesia berada di persimpangan yang penting dalam sejarahnya, di mana kebutuhan untuk mengadopsi jalur ekonomi yang hijau dan bersih menjadi hal yang tidak dapat ditawar lagi.

Akan tetapi, dalam upaya mengeluarkan Indonesia dari kelompok pendapatan menengah (middle income bracket) diperlukan pendekatan strategis untuk mempertahankan pertumbuhan hijau, supaya Indonesia dapat menjadi negara maju pada 2045.

Kolaborasi yang kuat berdasarkan asas saling menghormati menjadi salah satu strategi untuk mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan komitmen iklim sangat penting.
 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024