Jakarta (ANTARA) - Forum Indonesia-Afrika ke-2 telah berlangsung di Nusa Dua, Bali, dari 1--3 September 2024.

Sejumlah capaian berhasil dibukukan selama forum tersebut, antara lain penandatanganan empat kesepakatan bisnis di sektor industri strategis, sembilan sektor bisnis kesehatan, dan enam sektor bisnis energi baru terbarukan (EBT), dengan angka deliverables atau kerja sama konkret mencapai lebih dari 3,5 miliar dolar AS (sekitar Rp54,4 triliun).

Dengan mengambil tema "Bandung Spirit for Africa's Agenda 2063", Indonesia menjadikan "Semangat Bandung" yang dihasilkan dari Konferensi Asia Afrika pada 1955 sebagai fondasi untuk meningkatkan pembangunan kerja sama antara Indonesia dengan negara-negara Afrika.

Semangat Bandung tersebut, menurut Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (Menlu RI) Retno Marsudi, masih terus menjadi rujukan dalam pelaksanaan kerja sama selatan-selatan atau di antara negara-negara berkembang.

Semangat tersebut tidak hanya masih relevan, tetapi bahkan menjadi pelita yang menerangi jalinan kerja sama di negara-negara selatan.

"Bandung Spirit bukan hanya masih relevan, namun menjadi lebih relevan dan bahkan menjadi pelita yang menerangi jalan kerja sama di antara negara-negara selatan," kata Retno pada rapat kerja bersama Komisi I DPR RI pekan lalu.

Pernyataan itu ia sampaikan sebagai bagian dari tiga hal penting yang ia soroti sebagai hasil dari penyelenggaraan IAF.

Selain relevansi Bandung Spirit, hal penting berikutnya yang ia soroti adalah pentingnya IAF sebagai sebuah forum yang memfasilitasi kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan, sebagaimana yang menjadi harapan dari negara-negara Afrika.

Kemitraan yang saling menguntungkan dan tidak terkait dengan ambisi geopolitik bisa menjadi alternatif kerja sama di tengah situasi geopolitik yang tidak menentu.

Sementara itu, hal penting ketiga yang juga ia tekankan dari Forum Indonesia-Afrika adalah terkait kerja sama pembangunan, di mana kerja sama triangular menjadi salah satu pilihan yang tepat untuk memberikan dampak manfaat yang lebih besar terhadap pembangunan.

Signifikansi kerja sama tersebut juga ditunjukkan secara rinci oleh Senior Vice President of Japan International Cooperation Agency (JICA) Ando Naoki pada Diskusi Panel 6 yang diadakan dalam rangkaian forum tersebut pada Selasa (3/9).

Menurut Naoki, kerja sama triangular sangat penting. Signifikansi kerja sama tersebut ditunjukkan dari keberhasilan Jepang dalam memprakarsai proyek buku pedoman kesehatan untuk ibu dan anak yang mendorong pembangunan pada bidang kesehatan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga 34 negara di seluruh dunia.

"Saya rasa semua orang, semua orang Indonesia tahu buku pegangan ini. Buku ini adalah buku pedoman kesehatan untuk ibu dan anak," kata Naoki saat memulai penjelasannya tentang proyek kerja sama triangular tersebut.

Dahulu, buku pedoman tersebut hanya ditujukan untuk mencatat berat badan bayi, imunisasi, tes darah ibu selama kehamilan dan semacamnya.

Saat ini, buku pedoman tersebut tidak hanya berisi catatan-catatan tersebut, tetapi juga berisi banyak informasi edukasi untuk para ibu dan ayah baru, tentang pentingnya kondisi gizi ibu pada masa kehamilan dan juga berisi cara menghentikan pemberian ASI kepada bayi setelah memasuki usia tertentu.

"Buku ini sangat sangat informatif," katanya.

Proyek kerja sama buku pedoman tersebut pertama kali diluncurkan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia (Kemenkes RI) dan JICA di Salatiga pada 1994. Namun, dalam 10 tahun perkembangannya, buku pedoman tersebut telah menjadi bagian sistem kesehatan nasional di Indonesia.

Dalam upaya memperluas proyek kerja sama tersebut menjadi luas lagi, Kemenkes RI dan JICA kemudian menjadikan kerja sama bilateral tersebut menjadi kerja sama triangular melalui dukungan dari WHO.

Kesuksesan dari kerja sama pembangunan pada bidang kesehatan yang dicapai Indonesia tersebut juga diperluas ke 34 negara berkembang lain, dengan 12 di antaranya adalah negara-negara Afrika.

"Buku ini menjadi cara yang efektif untuk menyelamatkan kesehatan bayi dan ibu di seluruh dunia. Dan itu tidak akan terjadi tanpa kerja sama triangular," katanya.

Jenis kerja sama semacam itu juga, menurut Naoki, bisa juga diterapkan untuk kerja sama pembangunan pada bidang pertanian, teknologi, dan bidang-bidang lainnya.

"Jadi, Anda tahu, kita dapat meniru perubahan ini di bidang pertanian, pertanian tropis, teknologi, produksi beras, atau yang lainnya. Banyak potensi yang kita miliki untuk melakukan perubahan semacam ini," demikian kata Naoki.

Senada dengan Naoki, Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kemlu RI Siti Nugraha Mauludiah juga menyoroti pentingnya kerja sama bilateral maupun triangular saat menekankan kesiapan Indonesia untuk menjalin kerja sama pembangunan dengan negara-negara Afrika.

Menurutnya, Indonesia siap menjalin kerja sama bilateral maupun trilateral dengan mitra pembangunan seperti JICA, Bank Dunia, maupun Bank Pembangunan Islam (ISDB) untuk memaksimalkan kerja sama pembangunan dengan negara-negara Afrika.

"Kami sudah mendirikan Kerja Sama Pembangunan Internasional Indonesia. Dan kemudian, JICA, Bank Dunia, ISDB, dan mitra pembangunan lainnya juga membantu kami dalam membangun kapasitas kami sebagai mitra pembangunan yang efektif," katanya pada sesi Diskusi Panel VI dalam rangkaian acara IAF pada Selasa (3/9).

Komitmen itu, ia tegaskan untuk memastikan bahwa kerja sama pembangunan antara Indonesia dengan Afrika memiliki keselarasan dengan agenda pembangunan global serta agenda Afrika untuk Tahun 2063.

Untuk tujuan itu pula, Indonesia terus menjajaki peluang kerja sama pembangunan dengan Afrika baik di sektor energi dan mineral, kesehatan, pertanian, pendidikan, pengembangan masyarakat, maupun infrastruktur.

Sektor-sektor tersebut, katanya, bukan dipilih oleh Indonesia, tetapi juga berdasarkan pada diskusi komprehensif Indonesia dengan negara mitra di Afrika.

Melalui upaya-upaya tersebut, ia percaya bahwa praktik pembangunan itu akan memaksimalkan efektivitas keterlibatan Indonesia di Afrika, sehingga pada akhirnya membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut.

Sementara itu, terkait dorongan kerja sama tersebut, Wakil Menteri Hubungan Internasional dan Kerja Sama Namibia Jenelly Matundu menyampaikan apresiasinya dan menyatakan bahwa negaranya menyambut baik upaya-upaya untuk memaksimalkan pembangunan melalui kerja sama triangular.

"Ya, itu adalah sesuatu yang kami sambut baik," katanya dalam sesi diskusi panel yang sama.

Namun demikian, ia menggarisbawahi tantangan yang ia hadapi dalam upaya negaranya menjalin kerja sama triangular, salah satunya terkait pendanaan.

Sebagai salah satu negara yang termasuk dalam kategori negara berpendapatan menengah, ia mengaku negaranya kesulitan untuk mendapatkan pendanaan dari Bank Dunia.

"Ini menghambat Namibia, sebagai negara kecil dengan jumlah penduduk sedikit, untuk mengakses pinjaman lunak. Ini tidak memperhitungkan faktor lain seperti ketimpangan, tetapi hanya diputuskan oleh faktor PDB, bahwa sekarang Namibia adalah negara berpendapatan menengah," ujarnya.

"Itu bagus. Tetapi di sisi lain, hal ini sungguh merugikan negara karena tidak memungkinkan kami untuk mengakses sebagian dari pinjaman ini meski dalam jumlah kecil," tambahnya.

Oleh karena itu, dirinya berharap Forum Indonesia Afrika dapat membantu mengatasi permasalahan-permasalahan semacam itu dan menjembatani negaranya untuk menjalin kerja sama dengan Indonesia maupun dengan negara mitra lainnya.

Forum Indonesia-Afrika ke-2 pada tahun ini merupakan kelanjutan dari IAF pertama yang diselenggarakan pada 2018.

IAF ke-2 diselenggarakan bersama dengan Forum Tingkat Tinggi Kemitraan Multipihak (HLF-MSP) dalam rangka mendorong kerja sama pembangunan dengan negara-negara Afrika.

Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024