Jakarta (ANTARA) - Serikat Pekerja PT PLN (SP PLN) memandang bahwa penerapan power wheeling di sektor ketenagalistrikan nasional berpotensi menimbulkan dampak negatif signifikan baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi.

Menurut SP PLN, power wheeling dapat menggerus permintaan listrik organik hingga 30 persen dan permintaan nonorganik dari pelanggan Konsumen Tegangan Tinggi (KTT) hingga 50 persen.

"Akibatnya, biaya produksi listrik naik, sementara pemerintah harus menanggung kompensasi besar untuk menjaga tarif listrik tetap terjangkau," kata Ketua Umum DPP SP PLN M Abrar Ali dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu.

Untuk diketahui, power wheeling merupakan mekanisme transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara/PLN dengan memanfaatkan jaringan transmisi/distribusi PLN.

Menurut Abrar Ali, setiap 1 GW pembangkit listrik yang masuk melalui skema power wheeling diperkirakan akan menambah beban biaya hingga Rp3,44 triliun, yang akan semakin memberatkan keuangan negara.

Dampak akumulatif hingga 2030 diperkirakan akan meningkatkan beban Take or Pay (ToP) dari Rp317 triliun menjadi Rp429 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp112 triliun, katanya.

Dari sisi hukum, lanjut Abrar, power wheeling bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2022. Power wheeling merupakan implementasi dari skema Multi Buyer Multi Seller (MBMS) yang memungkinkan pihak swasta dan negara untuk menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir. Hal ini bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2022 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004.

Dengan skema power wheeling, kata Abrar, tarif listrik akan ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Ketika permintaan tinggi dan pasokan tetap, tarif listrik pasti naik, yang berakibat pada kenaikan subsidi listrik yang harus ditanggung oleh APBN.

Abrar menilai penerapan power wheeling justru dapat merugikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), APBN, dan konsumen secara akumulatif.

"Oleh karena itu, power wheeling lebih sebagai benalu dalam transisi energi, yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi negara," ujar Abrar Ali.

Baca juga: Skema "power wheeling" dinilai jadikan listrik komoditas pasar
Baca juga: Pakar hukum energi: Skema power wheeling tidak dapat masuk RUU EBET
Baca juga: Indef minta pemerintah cermati urgensi skema power wheeling

 

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024