Ankara (ANTARA) - Di negara yang sedang bergulat dengan pergolakan ekonomi, Turki kini menghadapi krisis utang pribadi yang meningkat.

Utang kartu kredit mencapai level yang belum pernah terjadi sebelumnya pada 2023, melonjak hingga 2,5 kali lipat dari angka yang tercatat pada 2022, demikian menurut data Asosiasi Bank Turki (Turkish Banks Association/TBB) yang dirilis pada Januari tahun ini.

Situasi tersebut makin memburuk pada 2024. Pada paruh pertama tahun ini, sekitar 645.000 orang menghadapi tuntutan hukum akibat utang kartu kredit yang belum dibayar. Angka tersebut menunjukkan peningkatan mengejutkan sebesar 43 persen dari periode yang sama tahun lalu, ungkap laporan Pusat Risiko TBB pada awal Agustus lalu.

"Utang kartu kredit pribadi sudah mencapai rekor tertinggi di Turki karena tingginya biaya hidup," kata Senol Babuscu, seorang profesor keuangan di Universitas Baskent di Ankara. "Warga Turki, terutama kalangan dewasa muda, mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka akibat menurunnya daya beli."

Seorang perempuan membayar dengan kartu kredit di Ankara, Turki, pada 6 September 2024. ANTARA/Xinhua/Mustafa Kaya

Krisis tersebut diperparah oleh kenaikan suku bunga yang tajam usai pemilihan umum pada Mei 2023. Tingkat bunga keterlambatan pembayaran bulanan maksimum pada kartu kredit melonjak dari 1,66 persen menjadi 4,55 persen, sebuah langkah yang diambil oleh bank sentral Turki untuk mengatasi inflasi, tetapi membuat banyak pemegang kartu kredit kesulitan membayar tagihan.

Tekanan ekonomi ini membuat banyak warga Turki sangat bergantung pada kartu kredit untuk pengeluaran esensial, hingga mengaburkan batasan antara kesalahan dalam mengelola keuangan dan strategi bertahan hidup yang memang diperlukan.

Bagi Alican Akin, seorang desainer grafis berusia 24 tahun, konsekuensi akibat ketidakmampuan membayar utang sangatlah berat. "Bank menggugat saya dan mengancam akan menyita sepeda motor saya. Saya dipaksa untuk melunasi utang saya," tuturnya. Kisah Akin tersebut juga dialami oleh banyak kaum muda di Turki.

Para peminjam muda berusia 22 hingga 30 tahun memang makin beralih ke kartu kredit atau mencari limit kredit yang lebih tinggi, kata Beyza, seorang karyawan bank swasta yang meminta identitasnya dirahasiakan. "Jumlah klien yang memiliki rekening bergulir (revolving balance) atau mengalami gagal bayar (default) meningkat dengan cepat," imbuhnya.

Meski beberapa pakar menyoroti kurangnya literasi keuangan di kalangan dewasa muda, akar dari krisis ini berawal lebih jauh, yakni dari lanskap ekonomi Turki. Negara itu bergulat dengan inflasi terparahnya dalam beberapa dekade, yang mengakibatkan sebagian besar tenaga kerjanya hidup dengan upah minimum yang sangat rendah.

Tekanan ekonomi ini membuat banyak warga Turki sangat bergantung pada kartu kredit untuk pengeluaran esensial, hingga mengaburkan batasan antara kesalahan dalam mengelola keuangan dan strategi bertahan hidup yang memang diperlukan

Pemerintahan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah mengambil langkah untuk mengatasi krisis inflasi, menunjuk sebuah tim ekonomi baru yang menaikkan suku bunga secara tajam dan meluncurkan perombakan ekonomi besar-besaran.

Langkah-langkah tersebut telah memperlihatkan beberapa dampak, dengan tingkat inflasi tahunan turun menjadi 52 persen pada Agustus tahun ini, dibandingkan puncaknya pada Mei lalu yang tercatat di angka 75 persen.

Namun, perbaikan ekonomi makro ini dianggap terlambat oleh banyak warga Turki. Gokhan Ozel, seorang pemilik usaha kecil berusia 25 tahun di Ankara, mencontohkan kesulitan yang sedang dialaminya.

"Saya punya lima kartu kredit, dan saya menghadapi tuntutan hukum akibat utang yang berkepanjangan," tuturnya. Kisah Ozel itu menjadi pengingat tentang dampak ketidakstabilan ekonomi pada warga Turki.


Penerjemah: Xinhua
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2024