Jakarta (ANTARA) - Kisah zombie dari Negeri Ginseng  atau Korea kini semakin banyak ditemui di budaya populer, salah satunya adalah webtoon atau komik web "All of Us Are Dead" yang dibuat oleh Joo Dong Geun.

Kisah tentang zombie ini makin dikenal setelah diadaptasi ke serial drama yang tayang di Netflix pada 2022. Judul ini menjadi tema yang diangkat dalam pameran "K-Comics, World Tour in Indonesia" di Korean Cultural Center Indonesia, Jakarta, hingga Oktober 2024.

"All of Us Are Dead" berlatar di sekolah menengah yang berubah menjadi kacau karena terjadi penyebaran virus zombie secara misterius. Apa yang menginspirasinya dan bagaimana perjalanan komik ini hingga diadaptasi menjadi serial drama dan game?

Berikut bincang-bincang ANTARA bersama Joo Dong Geun :
  Tanya (T): All of Us Are Dead jadi tema di pameran "K-Comics, World Tour in Indonesia", bagaimana perasaanmu?

Jawab (J): Saya merasa terhormat karena karya saya dipamerkan di luar Korea. Ini adalah kebanggaan bagi saya. Ini adalah kali kedua. Sebelumnya, pameran serupa pernah digelar di Swedia, lalu saat minta pilih ke negara mana, saya sering dengar, di Indonesia pasti banyak peminat, makanya saya pilih Indonesia. Lagipula, saya sudah lama ingin ke Indonesia, jadi saya senang dengan kesempatan ini.


T:Anda tahu ada banyak penggemar webtoon ini di Indonesia?

J: Sebelumnya tidak tahu kalau ada banyak yang suka, tapi saat sampai di sini, mulai terasa suasananya, jadi saya sangat senang dan berterima kasih.

 

T: Bagaimana awal mula membuat All of Us Are Dead?

J: Sebelumnya saya suka dengan genre horor dan thriller, jadi saat saya berkarya, itulah genre yang saya pilih. Cerita zombie saya pilih karena saya pernah menonton tayangan Amerika tentang zombie. Saya pikir, waktu itu saya bisa bikin zombie versi Korea.
Tahun 2008, waktu saya nonton film Amerika itu, genre zombie ini memang sedang booming di luar negeri, tapi saya pikir di Korea kok enggak ada kisah seperti itu. Jadi, saya segera berpikir saya harus cepat-cepat membuatnya.


T: Prosesnya sampai diadaptasi ke Netflix?

J: Tahun 2008 saya masih penulis amatir, saya debut tahun 2009. Soal adaptasi, sebenarnya awalnya yang saya mau itu webtoon ini dijadikan film. Tapi selama prosesnya ada banyak kendala, belum mendapatkan sutradara yang tepat, juga ketidakcocokan soal kontrak. Maka, cerita ini tidak kunjung menjadi cerita layar lebar.
Tahun 2015 saya bertemu dengan sutradara Lee Jae-kyoo. Dia waktu itu bertanya apakah cerita ini lebih baik diadaptasi menjadi drama? Sebenarnya cita-cita saya ingin jadi orang pertama yang membuat zombie ada di pertelevisian Korea, tapi selama proses berlangsung, sudah ada cerita tentang zombie, yaitu "Train to Busan".
Memang sayang sekali tidak bisa jadi yang pertama, tapi setelah "Train to Busan" sukses, ada banyak orang yang sudah mulai suka dan menerima cerita sama zombie dan horor, jadi pintu baru untuk saya pun terbuka.
 

Komik "All of Us Are Dead" di pameran "K-Comics, World Tour in Indonesia" di Korean Cultural Center Indonesia, Jakarta, Kamis (5/9/2024) (ANTARA/Nanien Yuniar)

T: Ada kekhawatiran apakah cerita di komik tidak sesuai dengan live action?

J: Sebenarnya kalau dijadikan sinematik saya khawatir tentang bagian-bagian sadis, apakah bisa tergambar dengan baik? Itu awal kekhawatiran saya. Jadi, dari situ saya dan tim produksi berpikir keras mana tempat yang pas untuk menayangkannya. Proses penentuannya butuh tujuh tahun lamanya. Setelah melewati masa yang panjang akhirnya kami menemukan platform yang cocok, yaitu Netflix yang sepakat mengadaptasi drama tersebut.


T: Seberapa terlibat Anda dengan pembuatan dramanya?

J: Saya tidak terlalu terlibat karena dalam pembuatan dramanya juga ada penulis khusus. Kami sama-sama memproduksi karya masing-masing. Tapi, saya minta kepada tim produksi untuk membuatnya semirip mungkin, seseram cerita di komik.  Biasanya akan ada banyak perbedaan saat alih wahana dari komik ke drama, bagian-bagian yang tidak sama dengan versi webtoon. Jadi, saya tidak terlalu berekspektasi. Nyatanya, ketika dibuat jadi drama, ada banyak kesamaan dengan versi webtoon, jadi saya merasa senang.


T: Puas dengan versi adaptasi?

J: Tentunya puas ya, sebab berkat drama ini saya juga bisa hadir di sini. Tapi, kalau ada yang terasa disayangkan, ada bagian-bagian di webtoon yang tidak masuk ke dalam drama. Seperti cerita tim panahan webtoon, di drama tidak terlalu banyak disorot, bagian-bagian itu saja yang saya sayangkan, tapi secara garis besar saya puas


T: Pembaca webtoon jadi bertambah berkat drama?
J:Tentunya dari drama pasti menambah pembaca komiknya, yang tadinya hanya baca versi gratis jadi mau membaca versi berbayar. Setelah itu, yang lebih bagus lagi efeknya adalah karya ini akan dijadikan musikal. Seri ini jadi salah satu tema yang diangkat di Universal Studios Singapore sebagai horror maze. Tema ini juga akan digunakan di Everland, taman hiburan di Korea, sebagai tema Halloween tahun ini.


T: Proyek berikutnya?
J: Belum ada proyek spesial karena saya baru dikaruniai bayi 7 bulan, jadi masih fokus mengurus anak, tapi mungkin setelah sudah agak besar, saya akan fokus untuk karya berikutnya. Saat ini fokus ke musikal juga.

 

T: Pendapat Anda soal webtoon Korea yang kian digemari secara global?
J: Sebenarnya waktu saya bikin komik, saya tidak tahu webtoon bakal sepopuler ini, sama sekali tidak menyangka. Saya gembira dengan fenomena ini karena saya belajar di sekolah yang banyak menelurkan para webtoonist seperti (pencipta) Itaewon Class dan Sweet Home. Mereka adalah teman-teman saya. Setelah webtoon kian dinikmati secara global, karya teman-teman saya juga dibaca banyak orang. Saya bahagia karena dengan ini junior-junior saya bisa bermimpi go internasional, saya merasa bangga. Dan jadi banyak anak muda di Korea yang ingin menjadi penulis atau pembuat webtoon berkat hal ini.
 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024